tutur kata hati



KELUARGA SAKINAH DALAM MASALAH


Kita saat ini ada di tengah arus deras pergeseran nilai
sosial dalam masyarakat kita. Pergeseran nilai sosial tampak pada
kecenderungan makin permisifnya keluarga-keluarga di masyarakat kita.
Keluarga tidak lagi dilihat sebagai ikatan spiritual yang menjadi medium
ibadah kepada Sang Pencipta. Kawin-cerai hanya dilihat sebatas proses formal
sebagai kontrak sosial antara dua insan yang berbeda jenis. Perkawinan
kehilangan makna sakral dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul yang
terjadi.

Ini bertolak belakang dengan adagium yang menyatakan keluarga adalah garda
terdepan dalam membangun masa depan bangsa peradaban dunia. Dari rahim
keluarga lahir berbagai gagasan perubahan dalam menata tatanan masyarakat
yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa pun yang maju dalam kondisi sosial
keluarga yang kering spiritual, atau bahkan sama sekali sudah tidak lagi
mengindahkan makna religiusitas dalam hidupnya. Karena itu, Al-Qur?an memuat
ajaran tentang keluarga begitu komprehensif, mulai dari urusan komunikasi
antar individu dalam keluarga hingga relasi sosial antar keluarga dalam
masyarakat.

Banyak memang problema yang biasa dihadapi keluarga. Tidak sedikit keluarga
yang menyerah atas ?derita? yang sebetulnya diciptakannya sendiri. Di
antaranya memilih perceraian sebagai penyelesaian. Kasus-kasus faktual
tentang itu ada semua di masyarakat kita. Dan, masih banyak lagi kegelisahan
yang melilit keluarga-keluarga di masyarakat kita. Namun, umumnya
kegelisahan itu diakibatkan oleh menurunnya kemampuan mereka menemukan
alternatif ketika menghadapi masalah yang tidak dikehendaki. Karena itu,
menjadi penting bagi kita untuk mencari kunci yang bisa mengokohkan bangun
keluarga kita dari hempasan arus zaman yang serba menggelisahkan. Dan, kata
kunci itu adalah sakinah.

*Makna Sakinah*

Istilah ?sakinah? digunakan Al-Qur?an untuk menggambarkan kenyamanan
keluarga. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan ?sakanun? yang
berarti tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu
digunakan Al-Qur?an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota
keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur
untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama
anggotanya.

Di Al-Qur?an ada ayat yang memuat kata ?sakinah?. Pertama, surah Al-Baqarah
ayat 248.
������� ������ ����������� ����� ������ �������� ���� ������������
����������� ����� ��������� ���� ��������� ����������� ������ ������ ����
������ ������ �������� ���������� �������������� ����� ��� ������ ��������
������ ���� �������� ���������

*Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: **?**Sesungguhnya tanda ia akan
menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat
ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga
Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat.**?*

Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan bagi
mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat ketenangan
?yang dalam bahasa Al-Qur?an disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah
adalah tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi penyimpanan sesuatu,
termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.

Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.
���� ������� �������� ������������ ��� ������� �������������� �������������
��������� ���� ������������ ��������� ������� ������������� �����������
������� ������� �������� �

*Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin
supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah
ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumidan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.*

Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja
Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini merupakan
suasana psikologis yang melekat pada setiap individu yang mampu
melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa diciptakan
sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi
orang lain.

Jadi, kata ?sakinah? yang digunakan untuk menyifati kata ?keluarga?
merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam
membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus
memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi
tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat
kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan
penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam
masyarakat.

Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa akar kasus-kasus yang
banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah karena rumah
sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami tidak lagi
menemukan suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula istri. Bahkan,
anak-anak sekarang lebih mudah menemukan suasana nyaman di luar rumah. Maka,
sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah konsep keluarga yang
dapat memberikan kenyamanan psikologis ?meski kadang secara fisik tampak
jauh di bawah standar nyaman.

*Membangun Kenyamanan Keluarga*

Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. Tidak
bisa bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota
keluarga saling menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Penemuan
itulah yang harus menjadi ruang untuk saling mencari keseimbangan. Makanya,
keluarga sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi proses pembelajaran
secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua
belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-orangtua.

Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih
ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan rumah
tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu atas problema keluarga.
Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari pengalaman. Maka
tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar
melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari pengalaman siapa pun.
Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan, atau juga pengalaman
orang lain selama tidak merugikan pelaku pengalaman itu.

Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak pertama kali
menikah adalah pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari pengalaman orang
tentang memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban yang mengikat
suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa dihadapi keluarga.
Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan pada buku kehidupan.
Bagaimana kita dapat memahami istri yang gemar buka rahasia, atau menghadapi
suami yang berkemampuan seksual tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah
keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi, memang
tepat jika rumah tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-hentinya
menghadapi badai di tengah samudra luas kehidupan.

Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa menjadi tambang
derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan.
Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada
waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang menyusul kemudian. Yang satu
membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapa pun
berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga yang memancarkan
pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar
menghadirkan atmosfir surga: keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah
rumah tangga dengan seorang nakhoda yang pandai menyiasati perubahan.

Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih
yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi tempat sentral
kembalinya setiap anggota keluarga setelah melalui pengembaraan panjang di
tempat mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada satu tempat kembali, baik
bagi anak, ibu, maupun bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga.
Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua,
demikian pula sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab,
yang ada hanya cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi
pakaian sehari-hari keluarga. Dengan pakaian ini pula rumah tangga akan
melaju menempuh badai sebesar apapun. Betapa indahnya kehidupan ketika ia
hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah
kebahagiaan.

Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya.
Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap
merundung. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula sebaliknya.
Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli
akan masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan surga lagi yang
datang, melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak
punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh membesarkan
raganya. Tapi raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang akan
berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka.

*Lunturnya Semangat Sakinah*

Membangun sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan bentangan
proses yang sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya pun bukan hal
yang sederhana. Kasus-kasus keluarga yang terjadi di sekitar kita dapat
menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi kita untuk berusaha keras
mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah kita.

Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal kalimat, ?Suami saya
akhir-akhir ini jarang pulang?, tidak sulit kita cerna maksud utama
kalimatnya. Sebab, kita menemukan banyak kasus yang hampir sama, atau bahkan
persis sama, dengan kasus yang menimpa wanita pengungkap penggalan kalimat
tadi.

Penggalan kalimat di atas bukan satu-satunya masalah yang banyak dikeluhkan
istri. Masih banyak. Tapi kalau ditelusuri akar masalahnya sama: ?tidak
tahan menghadapi godaan?. Godaan itu bisa datang kepada suami, bisa juga
menggedor jagat batin istri. Karena godaan itu pula, siapa pun bisa membuat
seribu satu alasan. Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis, tidak bisa
saling memahami, ingin mendapat keturunan, atau tidak pernah cinta.

Payahnya, semakin hari godaan akibat pergeseran nilai sosial semakin
menggelombang dan menghantam. Sementara, ketahanan keluarga semakin rapuh
karena ketidakpastian pegangan. Maka, kita dapati kasus-kasus di mana
seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya. Seorang bapak yang
tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan istrinya. Anak yang lebih erat
dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak berebut otoritas dalam keluarga
dengan istrinya, serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan hak
kesetaraan di hadapan suami. Semua punya argumentasi untuk membenarkan
posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua kenyataan yang
semakin memprihatinkan itu.

Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab utama terjadinya pergeseran
nilai dalam rumah tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup
bertahan dengan norma-norma dan jati diri keluarga kita yang asli? Bukankah
orang tua-orang tua kita telah membuktikan bahwa norma-norma yang mereka
anut telah berhasil mengantarkan mereka membentuk keluarga normal dan
berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri kita yang seperti sekarang ini?
Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala riuh-gelisah perubahan zaman
yang kadang membingungkan?

Transformasi budaya memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin, kita hindari.
Arusnya deras masuk ke rumah kita lewat media informasi dan komunikasi.
Kini, setiap sajian budaya yang kita konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam
telah menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran baik-buruk tidak lagi
bersumber pada moralitas universal yang berlandaskan agama, tapi lebih
banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang dibentuk untuk tujuan
pragmatis dan bahkan hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini telah
membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan keluarga dan masyarakat kita.
Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya menggambarkan
kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya nilai-nilai agama dan
budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah menjadi ?masyarakat
baru? dengan wujud yang semakin kabur.

Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena MBA (*married by accident*)
telah jadi model terbaru yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang
dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah menemukan jalan buntu.
Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang banyak
ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini merupakan bagian
kecil dari proses modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa kendali
etika. Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya diperankan oleh
masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur.

Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk sekadar
menyapa anak-anaknya. Anak pun dewasa dengan harus menemukan jalan hidupnya
sendiri. Mencari sendiri ke mana harus memperoleh pengetahuan, dan harus
mendiskusikan sendiri siapa calon pendampingnya. Semuanya berjalan
sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah kehilangan
daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan hidupnya yang
berbeda-beda, maka bangunan ?baiti jannati?, rumahku adalah surgaku, akan
semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin sulit
terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah terpikirkan. Yang ada
hanyalah ?neraka? yang tidak henti-hentinya membakar suasana rumah tangga.

Satu lagi yang sering menjadi akar bencana keluarga, yaitu anak. Dunia anak
adalah dunia yang lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian untuk
menemukan apa-apa yang menurut perasaan dan pikirannya ideal. Dunia ideal
sendiri, baginya, adalah dunia yang ada di depan matanya, yang karenanya ia
akan melakukan pengejaran atas dasar kehendak pribadi. Akan tetapi, di sisi
lain, perkembangan psikologis yang sedang dilaluinya juga masih belum mampu
memberikan alternatif secara matang terutama berkaitan dengan standar nilai
yang dikehendakinya. Karena itu, selama proses yang dilaluinya, hampir
selalu ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan tempat
di mana anak itu berkembang. Di sinilah proses bimbingan itu diperlukan,
terutama dalam ikut menemukan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.

Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah, secara tidak sadar, seringkali
menjadi sosok yang begitu dominan dalam menentukan masa depan anak. Padahal,
guru ataupun orang tua bukanlah segala-galanya bagi perkembangan dan masa
depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian, pada dasarnya merupakan
proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus mencerahkan. Proses seperti itu
berlangsung alamiah dalam kehidupan yang bebas dari ikatan-ikatan yang
justru tidak mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, maka keluarga bisa
berperan sebagai lembaga yang membimbing dan mencerahkan, atau juga
sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peran yang sesungguhnya, bisa saja
berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu menanamkan disiplin semu.
Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling shalih di rumah, tetapi menjadi
binatang liar ketika keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas dari
pengawasan orang tua.

Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari kesempatan untuk memenuhi
kebuntuan komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan terbatas. Sebab
berkomunikasi untuk saling menyambungkan rasa antar anggota keluarga
merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk selalu dipenuhi.
Konsekuensinya, ketidaktersediaan aspek ini dalam keluarga dapat berakibat
pada munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada gilirannya dapat saja
mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa yang
terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di antara kerusakan akibat
lunturnya atmosfir sakinah dalam keluarga.








"Mengetahui" Keinginan

Manusia selalu di warnai dengan keinginan, apapun bentuknya. Manusia tanpa
keinginan adalah manusia yang tidak bisa mewarnai hidup, kata seorang teman.
Mungkin ada benarnya, bahwa keinginan bisa memacu semangat untuk berusaha,
seperti keinginan untuk mendapatkan rumah, mobil, anak dan lainnya. Salah
seorang teman yang sudah cukup matang dalam usia sewaktu di masjid di tanya
tentang keinginannya, dia menjawab ingin menjadi orang yang bertaqwa. Ada lagi
seorang bapak yang hanya memiliki seorang anak, ketika di tanya tentang
keinginannya dia menjawab kalau dia ingin melihat anaknya 'semata wayang' itu
bahagia.

Memasuki tahun ajaran baru, orang tua yang memiliki anak yang baru masuk
sekolah akan mulai di sodorkan berbagai keinginan anak dalam memenuhi tuntutan
pendidikan yang cukup mahal. Sekolah memang gratis tetapi untuk pakaian seragam
dan buku sekolah orag tua harus merogoh kantong cukup dalam. Kita ingin bahkan
menuntut anak kita untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan sebaliknya
pendidikan pun menuntut kita biaya yang cukup tinggi. Artinya keinginan sering
mengejar dan memaksa kita untuk di wujudkan. Dan pada akhirnya ada sebagian
orang yang menanggalkan keimanan untuk mewujudkan keinginannya tersebut."
Keinginan itu harus berlandaskan dengan keimanan" kata Pak Amin disela-sela
waktu sehabis maghrib. Saya tidak mengerti dengan maksudnya karena sering kali
orang mudah mengatakan sesuatu yang dinilainya secara subjektif, seperti
keinginannya merayakan sunatan cucunya secara meriah dengan mengundang panari,
entah dimana muatan keimanan dari keinginannya tersebut.

Belakangan ini muncul trend baru yaitu keinginan-keinginan tampak sholeh.
Pengajian-pengajian banyak di serbu, perlehatan-perlehatan akbarpun sering
terselenggara. Pawai kendaraan dengan " pakaian taqwa" sering kali memadati
jalan sampai susah lewat karena iring-iringan harus di beri kesempatan terlebih
dahulu, maklumlah mereka " serdadu Tuhan". Lain lagi dengan seorang penceramah
yang turun dari sebuah mobil yang bagi "orang bawah" di nilai mewah
menganjurkan hidup sederhana seperti cara Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam yang walaupun seorang khalifah atau raja untuk ukuran sekarang Beliau
tetap hidup dalam keadaan kekurangan. " Kita harus mencontoh Beliau !" kata
penceramah itu, "Kita" disitu maksudnya yang mendengarkannya. Seorang teman
melihat keadaan ini pernah berujar " Saya mau cari ustadz yang kehidupannya
sehari-harinya seperti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam untuk belajar
agama , ada gak ya di Jakarta ini ?". Mungkin ada, cuma kita tidak tahu ,
karena orang-orang seperti itu jarang pernah mau menonjolkan diri.

Keinginan-keinginan sering kali telah bercampur dengan dunia beserta atributnya
sehingga sering ayat-ayat Tuhan di sesuaikan dengan keinginan sang pelaku baik
itu mengenai sesuatu yang di hajatkan, waktu maupun tempat. Bekerja dan
berusaha jika diniatkan karena Allah adalah ibadah, lalu apa yang membedakan
bekerja pada jaman Rasulullah, atau jaman sahabat atau jaman tabi'in dengan
bekerja pada saat sekarang ? Seorang teman sering mengeluh dengan
penghasilannya perbulan yang tidak sesuai dengan pengeluarannya, " Kenapa ya,
rezeki saya pas-pasan padahal semuanya untuk menafkahi keluarga dan itukan
ibadah" katanya seperti bertanya kapada diri sendiri sambil memegang buletin
masjid bertajuk " Berserah diri Kepada Allah ". Apakah ibadah itu sesuatu yang
di dapatkan atau sesuatu yang dipersembahkan ? . Mengetahui, memahami dan
mengalami adalah sesuatu yang berbeda. Seiring dengan bertebarannya buku-buku
agama, kitab-kitab hadist, dan berbagai tafsir kita sedang mengalami uforia "
Mengetahui". Mudah-mudahan suatu saat nanti kita bisa sampai pada tahap
memaknai apa yang telah kita alami, agar bisa memahami makna berserah diri
kepada Allah.










KENAPA KITA TERHALANG MELIHAT ALLAH

Kita menyembah Allah sebaiknya dapat memandang (melihat) Allah atau kalau belum
mampu kita wajib yakin bahwa Allah melihat kita, agar amal (perbuatan) kita
sampai (wushul) ke hadhirat Allah bukan kepada selainNya. Yang dimaksud dengan
memandang (melihat) Allah disini adalah dengan mata hati (bashirah).
Sebagaimana hadits berikut ini,

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib
Al-Yamani,
"Apakah Anda pernah melihat Tuhan?"
Beliau menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?"
"Bagaimana Anda melihat-Nya?" tanyanya kembali.
Imam Ali menjawab, "Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia
yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan ?".

Contoh sederhana akan hadits ini, jika kita mendirikan Sholat , sholat sudah
mengikuti Al-Qur'an dan Hadits (Fikih), sholat dilakukan diniatkan karena Allah
(Ushuluddin) , namun memandang (melihat) selainNya (Tasawuf), misalkan timbul
di hati memandang (melihat) manusia agar dianggap sebagai muslim yang sholeh.
Sehingga sholatnya lalai. Maka celakalah !

Ini sebuah contoh yang memuat seluruh pokok-pokok ajaran agama Islam, Islam
(rukun Islam/ Kitab Fikih), Iman (rukun Iman, kitab Ushuluddin), Ihsan (akhlak,
kitab Tasawuf).

Rasulullah saw berkata, "Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya
walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda."

Imam Qusyairi mengatakan
"Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang
membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut
senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa
yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)".

Secara sederhana kita bisa kita tangkap makna perkataan Imam Qusyairi,

sesuatu hadir dalam hati ===> selalu sadar dan ingat ==> seakan-akan senantiasa
melihat dan meyaksikanNya

Dengan selalu sadar dan ingat kepada Allah (mengingat Allah), seorang muslim
dapat mencapai tingkatan Ihsan, "seolah-olah melihat-Nya".

Penuhilah hati kita dengan selalu mengingat Allah, kita akan mencapai muslim
yang Ihsan, "seolah-olah melihat-Nya".

Sebagaimana yang dikisahkan seorang pemuda dengan kekasih wanita nya. Di mana
pemuda itu setiap akan makan, mandi, tidur dan perbuatan lainnya selalu
mengingat sang kekasih dan hatinya dipenuhi kekasihnya atau kekasihnya selalu
hadir di hati pemuda itu, maka pemuda itu akan "seolah-olah melihat
kekasihnya". Pemuda tersebut "seolah-olah" menjadi hamba sang kekasih.

Begitu pula bagi seorang muslim, yang mengingat Allah setiap melakukan
perbuatan seperti ketika makan, mandi, tidur, mengadakan perjalanan dan
perbuatan yang lain, muslim yang selalu mengingat Allah, sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi akan mencapai tingkatan ihsan, "seolah-olah melihatNya". Muslim yang
menjadi hamba Allah.

Mengingat Allah setiap melakukan perbuatan ====>> doa sebelum makan, tidur,
berjalan, berwudhu, dll. Minimal dengan

Bismillahirohmanirohim

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang"

Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda, "Setiap perbuatan, jika tidak dimulai
dengan "Bismillah" (menyebut nama Allah) maka (pekerjaan tersebut) akan
terputus (dari keberkahan Allah)".

Perbuatan (amal) yang tidak dilakukan dengan sadar dan mengingat Allah akan
terputus atau tidak sampai (wushul) ke hadhirat Allah, perbuatan (amal) yang
sia-sia.

Amal walaupun dengan Ilmu namun tanpa Akhlak maka akan sia-sia.

Contoh sederhana lainnya, di dunia maya(internet) kita menulis (AMAL) dalam
forum diskusi , milis, jaringan sosial, email, dengan dukungan ILMU yang kita
ketahui namun disampaikan dengan AKHLAK yang buruk (terhalang memandang Allah)
maka kita dapat celaka.

Lalu, ada yang bertanya, bahwa dia sudah menulis dengan berbagai sindiran,
hujatan, olok-olok, fitnah, dengan kemarahan, namun dia yakin bahwa dia dalam
kebenaran karena dia yakin Allah setuju, dikarenakan Allah tidak memberikan
teguran,hukuman/balasan.

Kita harus yakin bahwa al-Haq (kebenaran) tidak akan bercampur dengan
kebathilan.

Kebenaran tidak disampaikan dengan hujatan, olok-olok, fitnah maupun kemarahan.

Ingatlah, bisa saja Allah mengundur teguran/hukuman/balasan kepada waktu nanti
di Akhirat, maka ini adalah sebenar-benarnya kerugian.

Jika Allah mencintai hambaNya , bisa Dia menegur seketika itu juga, agar
hambaNya mempunyai waktu untuk meminta ampunanNya. Teguran dari Allah dapat
menunjukkan kedekatan hambaNya kepada Allah.

Lalu kenapa kita terhalang melihatNya ?

* Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
* Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
* Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta'ala oleh
kegelapan memandang ibadahnya

Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah
ta'ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya
Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.

Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang
(terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia
melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah
tenggelam dalam anugerahNya.

Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah
bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang
(terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.

Sebagaimana firman Allah yang artinya,

"Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti)
ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)." (QS Al
Isra 17 : 72)

"maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu
mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta, ialah hati yang di dalam dada." (al Hajj 22 : 46)

Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita sehingga tidak dapat memandang
Allah ?

Di zaman modern ini, sebagian ulama hanya terfokus mengajarkan tentang Islam
(rukun Islam / Kitab Fikih), Iman (rukun Iman / Kitab Ushuluddin) namun
sedikit yang mengajarkan tentang Ihsan (akhlak / Kitab Tasawuf).

Bahkan sebagian ulama anti mendalami/mengajarkan kitab Tasawuf hanya karena
istilah Tasawuf atau memaknai tasawuf dengan keliru, atau melihat kepada
orang/kaum yang keliru mendalami Tasawuf dalam Islam.

Sehingga kita dapat temukan sebagian muslim yang tahu tentang sholat (ilmu) ,
menjalankan sholat dengan rajin (amal) namun terhalang memandang Allah (akhlak)
sehingga mereka berani melakukan perbuatan korupsi, zina, setengah bugil atau
bugil di depan kamera, memimpin dengan zalim, memperkaya diri sendiri dan
kelompok, dll.

Oleh karenanya para ulama harus mendalami dan mengajarkan seluruh pokok-pokok
ajaran agama Islam, termasuk tentang Ihsan (akhlak / kitab Tasawuf).

Kelirulah jika terpengaruh himbauan sebagian ulama untuk modernisasi Agama,
atau terpengaruh ulama yang mengaku sebagai pembaharu (mujaddid), karena mereka
hanya fokus mendalami dan mengajarkan kitab fikih dan kitab ushuluddin saja
dengan meninggalkan kitab Tasawuf yang menguraikan tentang akhlak, tazkiyatun
nafs, ma'rifatullah dan lain-lain.

Sehingga dengan mengabaikan salah satu pokok ajaran agama Islam, yakni tentang
Ihsan maka sesungguhnya mereka secara tidak disadari mengupayakan pendangkalan
ajaran agama Islam. Mereka menamai kitab Tasawuf sebagai kitab klasik atau
kitab tradisionil atau kolot yang bagi mereka layak untuk dilupakan karena
zaman sudah modern.

Dalam soal kegamaan, soal syariat, soal ibadah, soal i'tiqad (aqidah), soal
hakikat, soal ma'rifat maka kita menolak sekuat-kuatnya akan modernisasi.
Agama adalah dari Allah dan Rasul, kita wajib menerima bagaimana adanya,
sebagai yang diajarkan Rasulullah.

Allah telah memberikan petunjuk bahwa kita dalam pengajaran harus mengajarkan
tentang akhlak (tentang Ihsan) agar terbuka mata hati orang yang akan kita
ajarkan, sebagaimana firmanNya yang artinya,

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang
buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan
(petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat
Kami, mereka itulah orang-orang yang berserah diri (kepada Kami)." (QS Ar ruum
30 : 53)

"Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau
(dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada
orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?" (QS As Zukhruf 43:40)

Alhamdulillah, adanya kesadaran dari pemerintah melalui melalui Kementerian
Pendidikan Nasional yang sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk
semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi .

Namun pendidikan karakter bukanlah pendekatan melalui filsafat, psikologi,
motivasi, menurut prasangka manusia atau hubungan antar manusia semata, yang
terbaik adalah pendekatan melalui pendidikan akhlakul kharimah, menghubungkan
kembali manusia dengan Allah, mendidik manusia untuk dapat menghilangkan
hijabnya dengan Allah sehingga dapat merasakan kedekatan atau kebersamaan
dengan Allah yang memotivasi untuk mentaati perintahNya dan menjauhi
laranganNya.

Solusi pendidikan agama yang harus diselenggarakan pemerintah adalah kembali
mengajarkan apa yang diajarkan ulama-ulama kita terdahulu yang mengajarkan
kitab-kitab klasik atau kitab-kitab Tasawuf.










Bagaimanakah agar kita mencapai tingkatan muslim yang Ihsan

Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut:
Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama
Rasulullah Saw.

Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam
sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorangpun dari
kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua
kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya
diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata,

"Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam."
Lalu Rasulullah Saw menjawab, "Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan
kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu."

Kemudian dia bertanya lagi, "Kini beritahu aku tentang iman."
Rasulullah Saw menjawab, "Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan
buruknya."

Orang itu lantas berkata, "Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan."
Rasulullah berkata, "Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya
walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.

Dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang Assa'ah (azab kiamat)."
Rasulullah menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya."
Kemudian dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang tanda-tandanya." Rasulullah
menjawab, "Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa
sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba
membangun gedung-gedung bertingkat." Kemudian orang itu pergi menghilang dari
pandangan mata.

Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, "Hai Umar, tahukah kamu siapa orang
yang bertanya tadi?" Lalu aku (Umar) menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih
mengetahui." Rasulullah Saw lantas berkata, "Itulah Jibril datang untuk
mengajarkan agama kepada kalian." (HR. Muslim)

Dari hadits diatas kita dapat memahami pokok ajaran dari Agama Islam yakni
tentang Islam (rukun Islam), Iman (rukun Iman) dan Ihsan (seolah-olah
melihatNya).

Dimanakah kita dapat kita pelajari atau kita dalami ke tiga pokok ajaran Agama
Islam itu?

Islam (rukun Islam) bisa kita dapati dengan mendalami fiqh / hukum.

Klo tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad maka bolehlah kita mengikuti
ulama yang berkompetensi / ahli atau dikenal sebagai Imam Mujtahid.

Jumhur ulama sepakat ada empat Imam Besar yang kita kenal. salah satunya adalah
Imam Syafi'i.

Iman (rukum Iman) bisa kita dapati dengan mendalami ushuluddin atau tentang
i'tiqad /akidah. Imam yang telah menggali dan merumuskan dari Al-Qur'an dan
Hadist, juga disepekati oleh jumhur ulama, salah satunya adalah Imam Abu Hasan
al Asy'ari dan Imam Mansur al Maturidi yang dikenal dan disepakati sebagai
ulama Ahlussunah Wal Jam'ah yang kaumnya dinamai kaum Ahlussunnah atau kaum
Sunni.

Ihsan (seolah-olah melihatNya) bisa kita dapati dengan mendalami tentang
akhlak, tazkiyatun nafs, ma'rifatullah yang secara umumnya dinamai Tasawuf.
Banyak ulama yang telah menguraikan atau menceritakan pengalaman mereka
tentang Tasawuf , antara lain adalah Syaikh Ibnu Athoillah.

Ihsan adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti "kesempurnaan" atau "terbaik."

Sebagian muslim ternyata tidak pernah mencita-citakan untuk menjadi muslim yang
terbaik, yakni yang mencapai tingkatan Ihsan (seolah-olah melihatNya). Yang
umumnya dan awamnya diketahui adalah Rukun Islam dan Rukun Iman semata.

Kenyataan yang ada, memang sebagian ulama hanya fokus pada fiqh dan ushuluddin
saja.

Mereka jarang mendalami tentang Ihsan (seolah-olah melihatNya), bahkan sebagian
menolak mendalami Tasawuf yang merupakan pendalaman tentang Ihsan , hanya
semata-mata karena alergi dengan istilah Tasawuf. Menurut mereka, tasawuf
adalah mistik, khurafat, tahakyul, kolot, tidak modern atau tidak dapat
mengikuti zaman.

Inilah yang kami sedihkan melihat kenyataan bahwa dalam zaman modern ini
sebagian muslim tanpa disadari terpengaruh dengan slogan modernisasi agama,
pembaharuan, pemahaman/ijtihad baru dengan metode pemahaman tekstual, dzahir,
harfiah atau menurut mereka secara ilmiah dan modern yang bersandarkan dalil
dan masuk akal.

Setelah kami lakukan pengkajian, ternyata apa yang dimaksud dengan
slogan-slogan diatas , secara tidak disadari adalah pendangkalan agama Islam
semata karena hanya menguraikan seputar fiqh dan ushuluddin saja. Dengan metode
pemahaman secara dzahir, tekstual atau lahiriah mereka tidak dapat mendalami
tentang Ihsan atau tasawuf, karena pendalaman Tasawuf adalah semata-mata
bergantung kepada karunia Allah dalam bentuk al-hikmah (pemahaman yang dalam).

Kita sesungguhnya tidak menolak seluruh modernisasi. Modernisasi dianjurkan
untuk bidang-bidang keduniaan yang belum ada aturannya dari Allah dan Rasul.
Namun dalam soal kegamaan, soal syariat, soal ibadah, soal i'tiqad (aqidah),
soal hakikat, soal ma'rifat maka kita menolak sekuat-kuatnya akan modernisasi.
Agama adalah dari Allah dan Rasul, kita wajib menerima bagaimana adanya,
sebagai yang diajarkan Rasulullah.

Nabi Rasulullah bersabda: "Dari Anas bin Malik Rda, beliau berkata, Rasulullah
telah bersabda: Apabila ada sesuatu urusan duniamu maka kamu yang lebih tahu,
tetapi apabila dalam urusan agamamu maka Saya yang mengaturnya". (HR Imam Ahmad
bin Hanbal).
Agama tidaklah mengikuti zaman tetapi sebaliknya zaman yang harus tunduk kepada
agama.

Slogan modernisasi agama dihembuskan dan sepertinya memang ada pihak yang
"mengangkat" atau "mengupayakan" untuk memasyarakatkan metode pemahaman secara
dzahir, tekstual atau harfiah. Mereka mengaku sebagai pembaharu (mujaddid) dan
seolah-olah mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad atau menjadi imam
mujtahid


Bagaimana proses pendalaman Tasawuf (tentang ihsan, seolah-olah melihatNya) ?

Tasawuf dalam Islam, sesungguhnya sangat mudah untuk dijalani. Tasawuf bukanlah
pemahaman namun amalan atau perbuatan. Sehingga muslim yang telah mendalami
Tasawuf bukannya mengajarkan pemahaman namun menceritakan pengalaman mereka
atau perjalanan mereka. Kadang-kadang tulisan tidak lagi sanggup mengungkapkan
pengalaman atau perjalanan mereka, oleh karenanya sebagian dari mereka
mengungkapkan dengan syair , hikmah (pernyataan yang dalam maknanya) atau
nasehat.

Tasawuf dalam Islam, prinsip dasarnya adalah melakukan perbuatan apapun di alam
dunia dalam rangka memenuhi keinginan Allah yakni beribadah atau menyembah
kepadaNya atau selalu mengingat Allah.

Keinginan Allah, sebagaimana firmanNya yang artinya
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku" (Az Zariyat : 56)
"Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu" (al Hijr: 99)

Setelah kesadaran ini dapat dipahami maka langkah selanjutnya adalah
sebagaimana perkataan Rasulullah SAW,
"Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji, dan matilah dalam keadaan
mati syahid" (HR.Ibnu Majah)

Pakaian yang baru adalah bertobat, kemudian mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs),
akhlak yang baik, adab yang mulia dalam perjalanan hidup kita, mengantarkan
kita kembali sebenar-benarnya bersaksi (syahid) sebagaimana pada awal mula
kejadian kita (ketika bayi dalam kandungan).

Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti
bayi dalam kandungan, agar dirinya dapat kembali menemui Allah.

Setiap manusia sudah bersaksi bahwa Allah adalah sebagai Rabbnya ketika masih
dalam alam kandungan. Sebagaimana yang disampaikan Allah dalam firman yang
artinya. "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi". (QS- Al A'raf 7:172)

Sebagaimana yang disampaikan imam Al Qusyairi bahwa,
"Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang
membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut
senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa
yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)".

Jadi langkah selanjutnya adalah selalu mengingat Allah, apapun yang kita
lakukan di alam dunia wajib kita selalu mengingat Allah.



"Perjalanan Hidup"

Firman Allah, yang artinya,

"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad
dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui" (QS al Maaidah 5 : 54).

Suatu kaum yang Allah mencintai mereka. Dan merekapun mencintaiNya.

Dari Abul Abbas ? Sahl bin Sa'ad As-Sa'idy ? radliyallahu `anhu, ia berkata:
Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan
berkata: "Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku
beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia." Maka
Rasulullah menjawab: "Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu,
dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan
mencintaimu." (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Imam Ahmad berkata, "Zuhud ada tiga macam:

* Pertama, meninggalkan perkara haram, dan ini adalah zuhudnya orang awam.
* Kedua, meninggalkan perkara halal yang tidak berguna, dan ini adalah
zuhudnya orang khas / khusus.
* Ketiga, meninggalkan perkara yang menyibukkan seorang hamba sehingga
melupakan Allah atau tidak mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang
arif."

Orang-orang arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya
melakukan perbuatan dengan selalu mengingat Allah sehingga mereka adalah muslim
yang mencapai tingakatan Ihsan, seolah-olah melihatNya.

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib
Al-Yamani,
"Apakah Anda pernah melihat Tuhan?"
Beliau menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?"
"Bagaimana Anda melihat-Nya?" tanyanya kembali. Imam Ali menjawab,
"Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat, (dzohir atau
"mata kepala")
tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan ...". (dilihat oleh hati
atau bashirah, "mata hati")

Kita harus yakin bahwa kita menyembah kepada Tuhan yang kita lihat (dengan mata
hati) agar kita tidak tersesat atau salah menyembah.

Sebagaimana firman Allah yang artinya,

"Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti)
ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)." (QS Al
Isra 17 : 72)

"maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu
mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta, ialah hati yang di dalam dada." (al Hajj 22 : 46)

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang
buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan
(petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat
Kami, mereka itulah orang-orang yang berserah diri (kepada Kami)." (QS Ar ruum
30 : 53)

"Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau
(dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada
orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?" (QS As Zukhruf 43:40)

Dengan mengamalkan Tasawuf yang diantaranya Zuhudlah di didunia, maka kita akan
dicintai Allah.

Jika Allah mencintai kita maka sebagaimana sabda Rasulullah SAW, dalam sebuah
hadits qudsi, bahwa Allah SWT, berfirman:

"Apabila Aku (Allah) mencintai seorang hamba, maka pendengarannya adalah
pendengaran untuk-Ku, penglihatannya adalah penglihatan-Ku, tangannya
(kekuasaannya) adalah kekuasaan-Ku, perjalanan kakinya adalah perjalanan
untuk-Ku"







KESENDIRIAN DAN KESEPIAN

Kesendirian adalah tidak adanya partner perkawinan. Kesepian adalah perasaan
terasing dalam pikiran seseorang. Kita dapat sendiri tanpa merasakan kesepian.
Kesepian merupakan masalah umum pagi setiap orang, laki-laki dan perempuan
dapat melanda siapapun, tidak mengenal batas usia.

Dalam abad kini kita semua bisa menjadi korban dari modernitas dari kemajuan
teknologi dan masyarakat yang semakin individu. Akibatnya sering tidak disadari
dari awal dan baru terasa setelah berjalan jauh yang berakibat merugikan
kehidupan bersama. Kesepian menjadi sumber bermacam-macam penyakit pisik dan
psikologis, seperti, sakit kepala, nyeri punggung, darah tinggi, emosional,
gampang tersinggung, bahkan depresi berat sampai bunuh diri.

Dalam pandangan pakar psikologi menyebutkan bahwa manusia di zaman modern lebih
takut kesepian daripada bahaya kelaparan. Kita pada dasarnya makhluk sosial
sehingga kita merasa takut kehilangan, takut akan ditinggalkan, memerlukan
kebersamaan dan sapaan dari orang lain. Kita takut akan perasaan kehilangan
dalam hubungan pribadi, terlebih orang yang kita cintai atau kita butuhkan
keberadaannya. Tak seorangpun mampu yang terbebas dari belenggu kesepian.
Disinilah orang kemudian melakukan aktifitas apapun agar tidak kesepian yang
malah justru makin membuat dirinya merasa sepi.

Untuk menghilangkan kesendirian dan kesepian adalah dengan menjaga hati dan
pikiran agar senantiasa tesambung dengan Allah Yang Maha Kasih. Jika hati kita
tersambung dengan yang Maha Kasih, energi KasihNya akan menyebar keseluruh sel
darah kita, kesadaran diri kita dipenuhi energi Kasih sayangNya, mulut, tangan,
kaki menjadi instrumen untuk menyebarkan kasih sayang Allah Subhanahu Wa Ta'ala
pada semua makhluk, baik Insan yang mulia, hewan, tumbuhan maupun benda-benda
lain akan menjadi teman bahkan serasa saudara karena semua hadir atas
kehendakNya. Semuanya bertasbih dan bersujud kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

--
'Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingar Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati kita menjadi
tenteram.' (QS. ar-Ra'd : 28).










Mengurai Belitan Kesalahan*



Bila kita pernah melakukan kesalahan, hendaknya kita bersedia mengakuinya. Bila
orang lain melakukan kesalahan hendaklah kita memaafkannya. mengakui kesalahan
tidaklah mudah bahkan teramat menyakitkan. Semakin tinggi status sosial kita
maka semakin tidak mudah. Apa lagi kalo punya banyak penggemar dan pemujanya.

Menyadari kesalahan tentunya berbeda dengan mengakui kesalahan. Mengakui
kesalahan akan menyebabkan orang yang mengakui dosanya menjadi kehilangan muka.
Kalo mengakui kesalahan diri sendiri sulit, apa lagi memaafkan kesalahan orang
lain. Bahkan lebih sulit lagi. 'Saya tidak bisa memaafkan dia. Luka hati saya
masih terasa perih bagai tersayat-sayat.' Toh, hati kecil kita mengatakan,
'sudahlah maafkan dia. sebesar apapun kesalahannya maafkanlah dia.' Mengapa
kita harus memaafkan? karena hanya dengan memaafkan, Allah berkenan mengampuni
kesalahan kita. Bila kita tidak memaafkan berarti kita menolak sifat Maha
Pengampun Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Bila kita melakukan perbuatan salah maka kita akan terbelit oleh kesalahan yang
kita lakukan. Ada perasaan berdosa yang membelit hidup kita terus menerus.
Dosa itu seolah mengejar -ngejar kita dimanapun berada. Kita dibuat tidak bisa
makan enak dan tidur nyenyak. Sampai kita mengakui perbuatan yang pernah kita
lakukan.

Demikian halnya dengan kesalahan orang lain. Bila kita tidak bisa memaafkan
kesalahannya maka hati kita tersiksa akibat rasa geram, marah, benci dan dendam
berkepanjangan. Membelit dan menyesakkan dada. Belitan itu akan akan bisa kita
lepaskan ketika kita bersedia untuk memaafkan sebagai firman Allah Subahanu Wa
Ta'ala.

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang kebaikan, serta berpalinglah
dari orang-orang yang tidak mengerti.' (QS. Al A�raf [7] : 199).