HUBUNGAN ORANG TUA-ANAK ADALAH UJIAN
Tidak seperti yang kita semua tahu, setiap individu manusia mempunyai dua
jenis orang tua, yaitu orang tua jasmani dan orang tua rohani. Orang tua
jasmani kita adalah orang tua yang dipakai lewatan oleh Allah untuk
mewujudkan diri kita di alam nyata sedangkan orang tua rohani kita adalah
yang dipakai lewatan Allah untuk memberikan roh suci (fitrah) di dalam diri
kita. Orang tua jasmani hanya menjadi orang tua kita pada saat kehidupan
tertentu. Artinya jika saat ini kita menjadi anak dari seorang ayah dan ibu,
bisa jadi pada kehidupan berikutnya kitalah yang menjadi orang tua, kakek,
nenek, paman, atau bibi mereka. Yang dimaksud orang tua kita sebenarnya dan
tetap kekal sampai kapan pun adalah orang tua rohani kita, yaitu Beliau
Ifrit, Khidir, Adam, dan Eva.
Kita ditakdirkan Allah menjadi orang tua jasmani atau sebagai anak jasmani
merupakan ujian. Baik sebagai orang tua maupun anak kita harus menjawab
ujian tersebut.
1.Diuji untuk mampu melaksanakan rasa ikhlas terhadap orang terdekat kita
atau darah daging kita sendiri.
2.Diuji apakah kita lebih mengutamakan urusan hubungan dengan Allah atau
hubungan dengan sesama manusia.
Dengan membaca buku panduan ini, kita akan mampu menggunakan fitrah kita
untuk menyelesaikan ujian dengan nilai yang memuaskan. Hanya dengan kendali
fitrahlah kita akan memahami hak dan kewajiban kita sebagai orang tua atau
anak sehingga kita mampu melaksanakan kebenaran. Yaitu dalam menghadapi
ujian selalu kembali ke Subyek atau dengan kata lain selalu
mendahulukan *hubungan
dengan Allah* sebelum mengurus *hubungan dengan sesama manusia*. Berbekal
nilai yang memuaskan inilah, kita bisa meningkatkan tingkat keimanan kita
serta menjadikan kehidupan kita selalu bermanfaat, baik ketika posisi kita
di bawah maupun ketika posisi kita di atas. Buku ini juga menjelaskan bahwa
yang dikatakan mulia di hadapan Allah tidak tergantung peran kita sebagai
orang tua ataupun anak, melainkan nilai kesempurnaan ikhlas kita baik
sebagai orang tua maupun anak. Semakin ikhlas kita menjalankan peran kita
sebagai anak atau orang tua, semakin mulia kita di hadapan Allah.
Sesuai dengan firman Allah surat Saba' ayat 37:
*"Dan bukanlah harta dan anak-anakmu yang mendekatkan kamu kepada Kami,
melainkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itulah
yang memperoleh balasan yang berlipat ganda atas apa yang mereka kerjakan,
dan mereka aman sentosa di tempat yang tinggi (mulia di hadapan Allah dan
mulia di hadapan manusia)" QS:34:37*
Surat ini mempunyai arti tersirat bahwa sebagai anak, apabila memiliki orang
tua yang mampu mendapatkan kemuliaan di hadapan manusia berupa kekuasaan,
atau kekayaan janganlah terlalu dibanggakan. Begitu pula ketika diberi orang
tua yang tidak mempunyai harta, atau kehormatan di hadapan manusia,
janganlah direndahkan. Keduanya merupakan ujian dari Allah.
Sebaliknya sebagai orangtua juga sama. Apabila anaknya berhasil mendapatkan
kemuliaan di hadapan manusia, janganlah terlalu dibanggakan. Dan apabila
anak kita tidak mampu mendapatkan kemuliaan di hadapan manusia, janganlah
direndahkan. Semua itu tidak lain adalah soal ujian kita untuk mengukur
keikhlasan kita dalam menerima takdir Allah terhadap diri kita. Dengan
keikhlasan yang sempurna, maka segala perbuatan kita akan mampu kita lakukan
dengan *niat hanya karena Allah semata*. Inilah harta yang sebenarnya.
TASAWUF -- MENGAPA HARUS BERSERAH
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku" (QS Adz Dzariyat 56)
"Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu" (QS al Hijr 99)
Ibadah adalah bentuk lahir pengabdian dan penghambaan adalah ruhnya. Apabila
kau telah memahami hal ini, ketahuilah bahwa ruh dan hakikat penghambaan adalah
tidak ikut mengatur dan tidak menentang takdir Tuhan.
Penghambaan adalah tidak ikut mengatur dan memilih bersama RububiyahNya.
Penghambaan sebagai kedudukan yang paling mulia hanya bisa dicapai dengan sikap
tidak ikut mengatur.
Jadi seorang hamba semestinya berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan terus
berusaha mencapai tingkatan yang paling sempurna dan paling mulia.
Orang yang ikut mengatur bersama Allah adalah seperti anak yang pergi bersama
ayahnya. Keduanya berjalan di malam hari. Karena menyayangi anaknya, sang ayah
senantiasa mengawasi dan memperhatikannya tanpa diketahui sang anak. Anak itu
tidak bisa melihat ayahnya karena malam yang teramat gelap. Ia meresahkan
keadaan dirinya dan tidak tahu apa yang harus diperbuat. Ketika cahaya bulan
menyinari dan ia melihat ayahnya dekat kepadanya, keresahannya sirna. Ia tahu
ayahnya begitu dekat dengannya. Kini ia merasa tidak perlu ikut mengurus
dirinya karena segala sesuatu telah diperhatikan oleh ayahnya.
Seperti itulah orang mengatur untuk dirinya. Ia melakukannya karena berada
dalam kegelapan ? terputus dari Allah. Ia tidak merasakan kedekatan Allah.
Andaikata bulan tauhid atau mentari makrifat menyinarinya, tentu ia melihat
Tuhan begitu dekat, sehingga ia malu untuk mengatur dirinya dan merasa cukup
dengan pengaturan Allah.
Perumpamaan orang yang mengatur bersama Allah SWT dan orang yang tidak ikut
mengatur adalah seperti dua budak milik seorang majikan.
Budak yang satu sibuk dengan perintah majikan serta tidak memikirkan masalah
pakaian dan makanan. Seluruh perhatiannya terpusat pada upaya untuk mengabdi
kepada majikannya sehingga lupa memerhatikan kepentingan dirinya. Sebaliknya,
budak yang kedua, selalu memerhatikan kebutuhan dirinya. Setiap kali sang
majikan mencarinya, ia sedang mencuci baju, memperbaiki keretanya dan menghias
pakaiannya.
Tentu saja budak yang pertama lebih layak mendapat perhatian sang majikan
daripada budak kedua yang sibuk dengan kepentingan dirinya dan melupakan
kewajibannya. Seorang budak dibeli untuk mengabdi kepada majikan, bukan untuk
memuaskan kepentingan dirinya sendiri.
Orang yang ikut mengatur untuk dirinya adalah seperti orang yang menjual sebuah
rumah. Setelah akad jual beli, si penjual mendatangi si pembeli dan berkata
"jangan membangun apa pun di dalamnya". Tentu saja si pembeli menegurnya, "Kamu
telah menjualnya, dan kini kamu tak punya hak melakukan apapun atasnya, Setelah
akad, kamu tidak boleh ikut campur."
"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka." (QS At Taubah 111)
Orang beriman harus menyerahkan dirinya kepada Allah beserta segala sesuatu
yang terkait dengan dirinya. Sebab, Allah lah yang menciptakannya dan Dia pula
yang membelinya. Salah satu keniscayaan dari sikap berserah diri adalah tidak
ikut mengatur atas apa yang telah kauserahkan.
Sungguh setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan
bertawakal kepada Tuhan. Ketahuilah, musuh sejatimu, yaitu setan, akan
senantiasa mengganggumu ketika kau berada dalam keadaan yang Allah tetapkan
untukmu. Kemudian setan membisikkan buruknya keadaan itu sehingga kau
menghendaki keadaan lain diluar yang telah ditetapkan Allah. Akibatnya, kau
selalu gelisah dan hatimu keruh.
Setan akan mendatangi orang bekerja dan mengatakan kepadanya, "Jika kau
meninggalkan pekerjaanmu dan khusyuk beribadah, tentu kau akan mendapatkan
cahaya dan kebeningan hati. Itulah yang dialami si fulan dan si fulan".
Sementara Allah tidak menetapkannya sebagai abid yang melulu beribadah. Ia tak
mampu melakukannya. Kebaikannya hanya ada dalam kerja. Jika ia mengikuti
bisikan setan dan meninggalkan pekerjaannya, imanya akan goyah dan keyakinannya
akan runtuh.
Pada orang yang melulu beribadah, setan mebisikan hasutan yang berbeda,"Sampai
kapan kau enggan bekerja? Jika kau tidak bekerja, kau akan mengharapkan milik
orang lain dan hatimu diliputi ketamakan. Tanpa kerja, kau tidak akan bisa
membantu dan meendahulukan kepentingan orang lain serta tidak akan mampu
menunaikan kewajibanmu. Keluarlah dari keadaanmu yang selalu menunggu pemberian
makhluk. Jika kau bekerja, orang lainlah yang akan menunggu pemberianmu."
Begitulah setan membisikan godaannya.
"Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka
(manusia) tidak ada pilihan" (QS Qashash : 68 )
"Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar,
dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang
bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (QS.
Ath Thalaaq [65]: 2-3 ).
Tujuan setan adalah agar manusia tidak rida atas keadaan yang Allah tetapkan
untuknya. Ia berusaha mengeluarkan mereka dari pilihan Allah menuju pilihan
mereka sendiri.
Ketahuilah, ketika Allah memasukkanmu ke dalam suatu keadaan, Dia pasti akan
selalu membantumu. Namun, jika kau masuk ke dalamnya dengan kemauan sendiri,
Dia akan membiarkanmu.
Allah berfirman, "Katakan, "Wahai Tuhan, masukkanlah aku dengan cara masuk yang
benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar, serta berikanlah
kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong" (QS Al-Isra : 80)
Sesungguhnya engkau tidak mengetahui akhir dan akibat dari setiap urusan.
Mungkin kau bisa mengatur dan merancang sebuah urusan yang baik menurutmu.
Tetapi ternyata urusan itu berakibat buruk bagimu. Mungkin ada keuntungan di
balik kesulitan dan sebaliknya, banyak kesulitan di balik keuntungan. Bisa jadi
bahaya datang dari kemudahan dan kemudahan datang dari bahaya.
Mungkin saja anugerah tersimpan dalam ujian dan cobaan tersembunyi dibalik
anugerah. Dan bisa jadi kau mendapatkan manfaat lewat tangan musuh dan binasa
lewat orang yang kau cintai. Orang yang berakal tidak akan ikut mengatur
bersama Allah karena ia tidak mengetahui mana yang berguna dan mana yang
berbahaya bagi dirinya.
Syekh Abu Al Hasan rahimahullah berkata,
"Ya Allah, aku tidak berdaya menolak bahaya dari diri kami meskipun datang dari
arah yang kami ketahui dan dengan cara yang kami ketahui. Lalu, bagaimana kami
mampu menolak bahaya yang datang dari arah dan cara yang kami tidak ketahui?"
Cukuplah untukmu firman Allah,
"Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal ia baik untuk kalian. Bisa jadi
kalian mencintai sesuatu padahal ia buruk untuk kalian. Allah mengetahui,
sementara kalian tidak mengetahui." (QS al Baqarah : 216)
Seringkali kau menginginkan sesuatu, namun Tuhan memalingkannya darimu.
Akibatnya, kau merasa sedih dan terus menginginkannya. Namun, ketika akhir dan
akibat dari apa yang kau hasratkan itu tersingkap, barulah kau menyadari bahwa
Allah SWT melihatmu dengan pandangan yang baik dari arah yang tidak kau
ketahui, dan memilihkan untukmu dari arah yang tidak kau ketahui. Sungguh buruk
seorang hamba yang tidak paham dan tidak pasrah kepadaNya.
Engkau adalah hamba yang selalu Dia pelihara. Seorang hamba tidak boleh ragu
kepada majikannya. Apalagi sang majikan selalu memberi dan tidak pernah
mengabaikan. Inti ibadah adalah percaya kepada Allah dan pasrah kepadaNya.
Sikap itu berlawanan dengan hasrat ikut mengatur dan memilih bersama Allah.
Seorang hamba harus mengabdi kepadaNya, dan Dia akan memberikan karunia
untuknya.
Pahamilah firmanNya, "Perintahkan keluargamu untuk shalat dan bersabarlah
atasnya. Kami tidak meminta rezeki. Kamilah yang memberimu rezeki." "[QS Thaha
: 132]
Artinya, mengabdilah kepada Kami, tentu Kami akan memberikan bagian padamu.
Ayat itu mengandung dua hal, sesuatu yang Allah jamin untukmu sehingga kau
tidak perlu mencarinya dan sesuatu yang diminta darimu sehingga tidak boleh
kamu abaikan.
Kami tidak memintamu untuk memberi rezeki kepada diri dan keluargamu.
Bagaimana mungkin Kami memintamu melakukan hal semacam itu ?!
Bagaimana mungkin Kami membebani kewajiban untuk memberi rezeki kepada dirimu,
sementara kau tidak akan mampu melakukannya ?
Terpujikah Kami jika memerintahkanmu mengabdi, sementara kami tidak memberikan
bagian untukmu?
Orang yang menyibukkan diri dengan sesuatu yang telah dijamin oleh Allah
sehingga lalai dari apa yang diminta, berarti sangat bodoh dan lalai.
Semestinya setiap hamba menyibukkan diri dengan apa yang dituntut darinya tanpa
memikirkan apa yang telah dijamin untuknya.
Allah SWT, memberi rezeki kepada kaum yang membangkang, jadi bagaimana mungkin
Dia tidak memberi kepada kaum yang taat ?
Apabila Dia telah mengalirkan rezekiNya kepada orang kafir, bagaimana mungkin
Dia menahannya untuk orang yang beriman ?
Kau telah mengetahui bahwa dunia telah dijamin untukmu, sedang akhirat diminta
darimu. Kau memiliki akal dan mata hati, jadi kenapa kau arahkan perhatianmu
kepada sesuatu yang telah dijamin untukmu sehingga kau melalaikan kewajibanmu ?
Perumpamaan orang yang sibuk bekerja dan orang yang sibuk beribadah adalah
seperti dua budak satu tuan. Sang tuan berkata kepada salah seorang dari
mereka, "Bekerjalah, dan makanlah dari hasil usahamu."
Kemudian kepada budak satunya ia berkata, "Tetaplah bersamaku dan melayaniku.
Akan kuberikan kepadamu semua kebutuhanmu".
"Siapa yang bersandar kepada Allah, berarti ia telah diberi petunjuk ke jalan
yang lurus" (QS Al Imran : 101 )
"Siapa yang bertawakal kepada Allah, Dia akan mencukupinya" (QS Al Thalaq : 3)
Ketahuilah, sikap tawakal kepada Allah dalam urusan rezeki tidak bertentangan
dengan usaha manusia
Rasulullah SAW bersabda, Karena itu, bertakwalah kepada Allah, dan mintalah
(atau carilah) rezeki dengan cara yang baik."
Rasulullah SAW, membolehkan kita berusaha mencari rezeki. Seandainya usaha atau
bekerja bertentangan dengan tawakal, tentu Rasulullah akan melarangnya.
Rasulullah SAW tidak mengatakan, "Jangan mencari rezeki," namun, "Carilah
rezeki dengan cara yang baik."
Nabi Muhammad SAW membolehkan kita mencari rezeki, karena itu merupakan bagian
dari usaha. Nabi Muhammad SAW bersabda " Makanan yang paling halal dimakan
seseorang adalah yang merupakan hasil usahanya sendiri"
Ketahuilah ada beberapa perwujudan dari sikap mencari rezeki dengan baik.
Berikut beberapa cara sebagaimana yang Allah sampaikan melalui karunia Nya.
1. Cara mencari rezeki yang baik adalah yang tidak melalaikanmu dari Allah
Swt.
2. Cara mencari rezeki yang baik adalah mencarinya kepada Allah Swt, tanpa
menetapkan batasan, sebab, dan waktunya sehingga Dia akan memberikan kepadanya
apa yang Dia kehendaki, dan diwaktu yang Dia kehendaki. Itulah etika meminta
rezeki. Orang yang mencari rezeki seraya menetapkan kadar, sebab dan waktunya
berarti telah mengatur Tuhannya, dan sikap itu menunjukkan kelalaian hatinya.
3. Cara meminta rezeki yang baik adalah memintanya kepada Allah Swt, dan
jangan jadikan apa yang kau inginkan sebagai tujuan doamu. Permintaanmu itu
sesungguhnya hanyalah sarana untuk bermunajat kepada Nya.
4. Cara mencari rezeki yang baik adalah dilakukan dengan penuh kesadaran
bahwa jatahmu telah ditetapkan dan akan mendatangimu, bukan permintaan dan
usahamu yang mengantarkanmu kepadanya
5. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta kepada Allah sesuatu yang
bisa mencukupimu bukan yang melenakanmu. Jangan menghendaki sesuatu secara
berlebihan. Nabi Muhammad SAW , mengajarkan doa yang baik " Ya Allah,
jadikanlah makanan keluarga Muhammad sekedar bisa mencukupi'.
6. Cara meminta rezeki yang baik bisa dengan cara meminta bagian dunianya.
Allah berfirman "dan, diantara mereka ada yang berdoa, Ya Tuhan kami , berilah
kami kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari azab
neraka" (QS Al Baqarah : 201)
7. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta tanpa meragukan jatah yang
diberikan Allah, serta tetap menjaga diri dari segala sesuatu yang dilarang.
8. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta tanpa menuntut untuk segera
dikabulkan.
9. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta dan bersyukur kepada Allah
jika diberi dan menyadari pilihan terbaik Nya jika tidak diberi.
10. Cara meminta rezeki dengan baik adalah meminta kepada ? Nya agar kau
berpegang pada pembagian-Nya yang telah ditetapkan, tidak kepada permintaanmu.
Kita menerima apapun ketetapan Allah untuk kita di dunia
dan menjalankan ketetapan secara ikhlas/rido, sabar, istiqomah, profesional dan
tawakal.
Firman Allah,
"Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka
(manusia) tidak ada pilihan."(QS Qasas :8)
Untuk itulah kita berupaya menjadi muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul
karimah, muslim yang Ihsan (muhsin), muslim yang seolah-olah melihatNya,
minimal muslim yang yakin bahwa Allah melihat kita. Sehingga kita di dunia
dapat bertemu dengan Allah, berinteraksi dengan Allah, dapat mengetahui apa
pilihanNya untuk kita.
Kita akhiri tulisan kali ini dengan sebuah doa berikut,
"Ya Allah, Engkau telah menetapkan untuk kami bagian yang Engkau sampaikan
kepada kami. Maka sampaikanlah kami kepadanya dengan mudah dan tanpa kepenatan,
terjaga dari keterhijaban, diliputi cahaya hubungan dengan-Mu, yang kami
saksikan dari-Mu sehingga kami termasuk golongan yang bersyukur dan
menyandarkan bagian kami itu kepada-Mu, bukan kepada salah satu mahluk-Mu".
Pintu-Pintu Masuknya Syetan
Imam Ibnul Qayyim menyebutkan empat macam pintu masuknya syetan untuk
menjerumuskan manusia. Empat pintu tersebut adalah; lahazhat (pandangan mata),
khatharat (angan-angan), lafzhat (ucapan lisan), dan khuthuwat (langkah kaki).
Beliau rahimahullah telah menjelaskan betapa bahayanya jika kita meremeh kan dan
tidak waspada terhadap empat hal ini. Selain itu, beliau juga menjelaskan
bagaimana cara untuk menjaga diri darinya agar seseorang selamat dari tipu daya
dan gangguan syetan.
Di antaranya beliau mengatakan, "Karena sumber kemaksiatan itu dimulai dari
pandangan, maka Allah subhanahu wata�ala mendahulukan perintah menundukkan
pandangan daripada perintah menjaga kemaluan. Karena berbagai kejadian buruk itu
dimulai dari padangan, sebagaimana api yang besar berasal dari percikan yang
kecil. Maka dimulai dari pandangan, lalu menjadi angan-angan, lalu langkah kaki
dan terakhir melakukan dosa. Berikut ini penjelasan ringkas tentang empat hal di
atas, semoga bermanfaat.
Lahazhat (Pandangan Mata)
Yang dimaksudkan lahazhat adalah mengikuti hawa nafsu dan memberi kebebasan
kepadanya. Padahal menjaganya adalah pangkal terjaganya kemaluan. Maka siapa
yang dengan bebas melemparkan pandangan dan mengikuti hawa nafsunya, berarti dia
telah menjerumuskan dirinya dalam kehancuran.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu �alaihi wassallam telah mengingatkan
kita, sebagaimana sabdanya,
"Janganlah engkau ikuti padangan dengan padangan berikutnya, karena untukmu
adalah padangan yang pertama, sedangkan selanjutnya bukan untukmu." (HR. Ahmad)
Beliau juga melarang duduk-duduk di pinggir jalan. Maka para shahabat bertanya,
"Bagaimana jika kondisi mengharuskan untuk itu (duduk di pinggir jalan)?� Maka
beliau menjawab, "Jika engkau memang harus melakukan itu, maka berikanlah hak
jalan." Para shahabat bertanya, "Apakah hak jalan itu?� Beliau menjawab,
"Menahan pandangan, tidak mengganggu orang dan menjawab salam." (Muttafaq
'alaih)
Pandangan adalah sumber berbagai bencana yang banyak menimpa manusia, karena
pandangan akan melahirkan angan-angan, lalu angan-angan melahirkan pemikiran,
pemikiran melahirkan syahwat, dan syahwat memunculkan keinginan, lalu keinginan
itu makin menguat hingga menjadi azam (tekad), akhirnya terjadilah perbuatan,
jika tidak ada yang menghalangi. Maka dikatakan bahwa bersabar untuk menahan
pandangan lebih ringan dibanding bersabar menahan derita setelahnya.
Pandangan seperti anak panah yang meluncur terus dan tidak akan sampai pada
sasaran sebelum orang yang memandang menyediakan tempat untuknya di dalam hati.
Kemudian setelah itu pandangan tersebut menggoreskan luka dalam hati, lalu
disusul lagi dengan luka yang lain sebagai tambahan atas luka yang sebelumnya.
Akhirnya pedihnya luka pun tak dapat terhindarkan lagi karena pandangan yang
terulang terus menerus tiada henti.
Khatharat (Angan-angan)
Angan-angan urusannya lebih sulit lagi, karena ia merupakan awal terjadinya
kebaikan atau keburukan. Dari angan-angan lahir keinginan dan kemauan serta azam
(tekad). Maka siapa yang memelihara angan-angannya berarti dia telah memegang
kendali dirinya, telah menundukkan hawa nafsunya. Dan siapa yang dikalahkan oleh
angan-angannya maka hawa nafsu akan mengendalikannya. Siapa yang meremehkan
angan-angan, maka angan-angannya akan menggiring nya menuju kehancuran.
Angan-angan seseorang berkisar pada empat hal pokok, yaitu; Pertama, angan-angan
yang memberikan manfaat keduniaan; Ke dua, angan-angan yang mendatangkan
madharat keduniaan; Ke tiga, angan-angan yang memberikan maslahat akhirat; Ke
empat, angan-angan yang mendatang kan madharat akhirat.
Maka hendaknya seseorang selalu melihat kepada apa yang dia angankan, dia
pikirkan, dan dia inginkan lalu menimbangnya dengan empat hal di atas. Lalu
memilih yang terbaik, mendahulukan mana yang terpenting, mengakhirkan yang
kurang penting.
Khayalan dan angan-angan kosong adalah sesuatu yang berbahaya bagi manusia,
karena ia hanya akan melahirkan rasa lemah, malas, dan akhirnya sikap meremehkan
dan tidak perhatian terhadap waktu lalu berujung pada kerugian dan penyesalan.
Maka seorang yang berakal, angan-angannya berkisar pada hal-hal yang baik,
penting dan perlu. Dan untuk itulah syariat datang. Karena kebaikan dunia dan
akhirat tidak akan dicapai kecuali dengan mengikuti syariat itu. Pikiran dan
angan-angan yang paling mulia adalah segala yang ditujukan untuk Allah subhanahu
wata�ala dan negri akhirat, di antara contohnya adalah:
Memikirkan ayat-ayat Allah subhanahu wata�ala dan berusaha memahaminya, sebab
Allah subhanahu wata�ala menurunkan al-Qur'an bukan hanya sekedar untuk dibaca.
Memikirkan ayat-ayat yang dapat kita saksikan (ayat kauniyah) dan mengambil
pelajaran darinya.
Memikirkan pemberian Allah subhanahu wata�ala, kebaikan dan nikmat-nikmat-Nya
yang beraneka ragam kepada segenap makhluk, keluasan rahmat Allah subhanahu
wata�ala, kesantunan dan ampunan-Nya.
Memikirkan kewajiban-kewajiban kita terhadap waktu, tugas-tugas yang harus
ditunaikan dan mendata berbagai rencana kerja. Seorang yang bijak menjadi anak
dari waktunya. Jika waktu disia-siakan maka hilanglah kebaikan, karena kebaikan
itu dengan memanfaatkan waktu, kalau waktu sudah lewat maka tak mungkin untuk
diraih kembali.
Lafzhat (Ucapan Lisan)
Cara untuk memelihara ucapan adalah dengan menjaganya agar tidak berbicara yang
sia-sia, tidak berbicara kecuali yang diharapkan memberi keuntungan dan manfaat
dalam agama. Jika ingin berbicara maka hendaknya melihat, apakah ucapan itu
memberi kan keuntungan dan faidah atau tidak? Jika tidak memberi keuntungan maka
perlu ditinjau lagi.
Jika engkau ingin tahu apa yang ada dalam hati seseorang, maka perhatikanlah
gerakan mulutnya, karena mulutnya akan memperlihatkan kepadamu apa yang ada di
dalam hatinya. Yahya bin Muadz berkata, "Hati itu ibarat periuk yang sedang
mendidih, sedangkan lisan ibarat gayungnya. Maka perhatikanlah seseorang ketika
berbicara, karena lisannya sedang menciduk untukmu apa yang ada dalam hatinya,
manis atau pahit, tawar atau asin, dan lain sebagai nya. Dan cidukan lisannya
akan menje- laskan kepadamu rasa hati orang itu.�
Dalam sebuah hadits marfu' dari Anas disebutkan,
"Tidak lurus keimanan seorang hamba sebelum lurus hatinya, dan tidak lurus hati
seseorang sebelum lurus lisannya." (HR. Ahmad, dan ada penguatnya)
Rasulullah shallallahu �alaihi wassallam ketika ditanya tentang sesuatu yang
banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka, maka beliau menjawab, "Mulut dan
kemaluan." (HR. at-Tirmidzi dan berkata hadits hasan shahih)
Khuthuwat (Langkah Kaki)
Langkah kaki, cara menjaganya adalah dengan tidak mengangkat telapak kaki,
kecuali untuk sesuatu yang diharapkan pahala dan kebaikannya. Jika sekiranya
langkah kaki tidak menambah pahala, maka duduk adalah lebih baik. Dan mungkin
juga melangkah kepada hal yang mubah (boleh), namun diniatkan untuk qurbah
(pendekatan diri) semata-mata karena Allah subhanahu wata�ala, maka langkah kaki
akan dinilai sebagai qurbah.
Dalam hal ketergelinciran langkah kaki dan lisan, maka ada ayat yang menjelaskan
bahwa antara keduanya ada saling keterkaitan, sebagaimana firman Allah subhanahu
wata�ala, artinya,
�Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang
yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.�
(QS. 25:63)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wata�ala menyifati ibadur Rahman di
antaranya adalah istiqamah (lurus) dalam ucapan dan langkah kaki mereka.
Sebagaimana juga Allah subhanahu wata�ala mengaitkan antara lahazhat (pandangan)
dengan khatharat (angan-angan) dalam firman-Nya, artinya,
�Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh
hati.� (QS. 40:19). Wallahu a�lam bish shawab. (Kholif)
Sumber: Madakhil asy-Syaithan li ighwa� al-Insan, min kalam al-Imam Ibnu Qayyim
al-Jauziyah dengan memotong dan meringkas, Qism Ilmi Darul Wathan.
HATINYA TERSENYUM
Pada malam hari di Rumah Amalia ada seorang laki-laki muda. Dalam pernikahannya
yang tahun ke tiga dan telah memiliki seorang anak laki-laki yang berusia dua
tahun. Malam itu dia hadir dengan putranya. Suara anak-anak Amalia sedang
melantunkan ayat suci al-Quran mengobati hatinya.
Dia menuturkan bahwa sudah satu bulan ini istrinya pulang ke rumah orang
tuanya. Sebagai suami, dirinya diminta untuk menceraikan istrinya dengan alasan
dianggap tidak mampu mengurus keluarga. Sebagai seorang suami sudah meminta
maaf dan berjanji bertanggungjawab kepada keluarga serta berjanji tidak akan
mengulanginya lagi kesalahan yang pernah dilakukan. Permintaan maaf itu
disampaikan kepada istri dan mertuanya. 'Saya sudah berjanji untuk membina
rumah tangga kembali Mas,'
Hati istrinya luluh, istrinya masih mencintai dirinya sebagai suami dan masih
mencintai anak kesayangannya namun sangat disesalkan, istrinya tidak berdaya
mengikuti perintah orang tuanya. Dirinya dipaksa oleh mertuanya agar segera
mengurus di pengadilan agama. Itulah sebabnya dirinya berniat untuk bershodaqoh
untuk anak-anak Amalia, 'Semoga Allah berkenan menyelamatkan rumah tangga saya
yang diambang kehancuran.' tuturnya lirih, matanya sayu. air matanya menggenang
di kelopaknya.
Satu minggu kemudian Laki-laki muda itu hadir kembali ke Rumah Amalia bersama
anak dan istri mengabarkan dirinya dan putranya sudah berkumpul kembali dengan
istrinya. Mertuanya hatinya telah luluh dan memaafkan atas semua kesalahan yang
pernah dilakukannya. 'Subhanallah, kami turut berbahagia,' ucap saya padanya.
Kemudian saya berpesan padanya dan istrinya. 'Bila kia dirundung kesedihan
karena kehilangan orang yang kita cintai sepatutnya memohonlah pada Allah agar
diberikan ketenangan hati, tanamkanlah di dalam hati kita bahwa Allah adalah
Sang Pemilik Sejati telah mengambil titipanNya. Dan bila Allah percaya kepada
cara kita mencintai titipanNya maka Allah akan berkenan mengamanahkan kembali
hamba-hambaNya yang terbaik kepada kita agar kita merawat dan kita menjaganya
dengan baik.' Malam itu matanya berbinar-binar, Wajahnya nampak bahagia.
hatinya dan hati istrinya telah tersenyum kembali.
--
Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau bahwa aku memohon kepada
Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahuinya dan tidak menaruh belas kasihan
kepadaku, niscaya aku termasuk orang yang merugi (QS. Huud : 47).