TOMBO ATI


[LAFADZ_B.BMP]

Air Mata Abdullah Bin Rawahah



Abdullah Bin Rawahah dan istrinya menangis maka ia bertanya kepada istrinya,
'Mengapa engkau menangis?' Istrinya menjawab, 'saya menangis karena saya
melihat engkau menangis.'

Abdullah Bin Rawahah berkata, 'saya sudah tahu bahwa saya akan melintasi neraka
tetapi saya tidak tahu apakah saya akan selamat atau tidak. karena turun satu
ayat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Salam dari Allah, yang
memberitahukan bahwa saya akan melintasi neraka tetapi tidak ada berita, apakah
saya selamat atau tidak.'

Ayat yang dimaksud Abdullah Bin Rawahah adalah firman Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. 'Dan tidak ada seorangpun dari padamu melainkan mendatangi neraka itu'
(QS. Maryam : 71).

Teman yang berbahagia, Abdullah Bin Rawahah adalah salah satu dari sahabat Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Salam dari kaum Anshar, air matanya senantiasa
menetes disetiap malamnya untuk memohon ampun kepada Allah karena takut tidak
selamat melintasi neraka. Lantas bagaimana dengan kita? Mampukah kita menangis
malam ini untuk memohon ampun kepada Allah?








SEBUAH KEBAIKAN



Sahabat yang senantiasa dalam naungan Allah SWT. Kalau ada peluang untuk
sebuah kebaikan, mengapa harus ditunda ?

Bersegeralah dalam berbuat kebaikan, karena itu disukai Allah SWT.


"Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras
siksa-Nya." (Al-Maa`idah:2)

"Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu
berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Al Baqarah: 148)

"Bersegeralah melakukan amal-amal saleh (kebajikan). (Sebab) sebuah
fitnah akan datang bagai sepotong malam yang gelap. Seseorang yang
paginya mukmin, sorenya menjadi kafir. Dan seseorang yang sorenya bisa
jadi kafir, paginya menjadi mukmin. Ia menjual agamanya dengan harga
dunia." (H.R. Muslim)

HIDUP AKAN TERASA LEBIH INDAH DAN MUDAH JIKA KITA RELA SALING MEMBANTU







JANGAN MENYERAH

Hidup penuh dengan kesulitan. Bukan pada itu kita menyerah. Karena kuncinya
ada pada kemauan kita. Maukah kita untuk berdiri dan mengejar impian kita?
pembentukan sifat pribadi pantang menyerah dan tangguh ini adalah berawal
dari sifat optimisme yang menyelimuti pola pikir sESEorang.

Pribadi pantang menyerah (tangguh) adalah tidak lain sebutan bagi pribadi
yang tidak merasa lemah terhadap sesuatu yang terjadi dan menimpanya.
Pribadinya menganggap sesuatu yang terjadi itu dari segi positifnya.
Menyikapi keadaan seperti saat ini, kita seharusnya tidak menjadi pesimis
dan berserah diri. Kita harus optimis dan selalu berusaha untuk mencapai
yang terbaik dalam hidup ini. Sehingga untuk menjadikan pribadi pantang
menyerah dan tangguh ini, maka dalam diri kita harus tertanam sikap optimis,
berpikir positif, dan percaya diri.

Setiap manusia harus memiliki optimisme dalam menjalani kehidupan ini.
Dengan sikap optimis, langkah kita akan tegar menghadapi setiap cobaan dan
menatap masa depan penuh dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta. Karena
garis kehidupan setiap manusia sudah ditentukan-Nya. Tugas kita adalah hanya
berusaha, berpikir dan berdoa.

Setelah kita mampu bersikap optimis, lalu pola pikir kita juga harus
dibiasakan berpikir secara positif dan percaya diri. Berpikir positif kepada
siapa? Pertama, berpikir positif kepada Tuhan. Setiap kejadian, peristiwa
dan fenomena kehidupan ini pasti ada sebab musababnya. Tugas kita, hanya
berpikir dan membaca. Ada apa dibalik semua itu? Lalu, kita mengambil
pelajaran dari kejadian itu dan selanjutnya mengamalkan yang baiknya dalam
perilaku keseharian.

Kedua, berpikir positif terhadap diri sendiri. Setiap manusia, dilahirkan
sebagai pribadi yang unik. Karena bagaimanapun wajah dan sifat kita mirip
dengan orang lain. Tapi, yang jelas ada saja perbedaan antara keduanya.

Sifat dan pribadi unik itu, harus kita jaga. Itu adalah potensi positif,
modal dasar untuk mencapai keleluasaan langkah kita . Bagaimana orang lain
akan menjunjung kita, kalau diri kita sendiri meremehkan dan tidak
?mengangkatnya?.

Selain itu, kita juga harus yakin bahwa kita dilahirkan ke dunia ini sebagai
sang juara, the best. Fakta membuktikan, dari berjuta-juta sel sperma yang
disemprotkan Bapak kita, tetapi ternyata yang mampu menembus dinding telur
Ibu kita dan dibuahi, hanya satu. Itulah kita, ?sang juara?. Hal ini, kalau
kita sadari akan menjadi sebuah motivasi luar biasa dalam menjalani hidup
ini.

Ketiga, berpikir positif pada orang lain. Orang lain itu, manusia biasa sama
dengan kita. Dia mempunyai kesalahan dan kekhilafan. Yang tentu hati
nuraninya tidak menghendakinya. Pandanglah, orang lain itu dari sisi
positifnya saja dan menerima sisi negatifnya sebagai pelajaran bagi kita.

Belajarlah dari seekor burung Garuda. Ia mengajarkan anaknya untuk terbang
dari tempat yang tinggi dan menjatuhkannya. Lalu jatuh, diangkat lagi dan
seterusnya sampai ia bisa terbang sendiri. Hati Garuda juga bersih, tidak
mendendam. Ia kalau waktunya bermain ?cakar-cakaran?. Tapi, kalau diluar itu
ia akur, damai kembali.

Keempat, berpikir positif pada waktu. Setiap manusia diberi waktu yang sama,
dimana pun dia berada. Sebanyak 24 jam sehari atau 86.400 detik sehari.
Waktu itu, ingin kita apakan? Kita gunakan untuk tidur seharian, kerja
keras, mengeluh, berdemontrasi, bergunjing, santai, menuntut ilmu, menolong
orang lain, melamun, ibadah, dan lainnya. Waktu itu tidak akan protes.

Yang jelas, setiap detik hidup kita akan diminta pertanggung jawabannya
kelak, di hadapan Allah SWT. Bagi mereka yang biasa mengisi waktunya dengan
amal-amalan saleh dan berada dalam keimanan, maka ia akan memperoleh
kehidupan yang lebih baik. Allah berfirman, yang artinya: ?Barang siapa
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan
beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami
balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.? (QS. An-Nahl: 97).

Untuk memaksimalkan sikap positif pada diri seseorang, lebih-lebih sebagai
pembentuk pribadi yang pantang menyerah, tangguh, ?tahan banting?, sabar dan
istiqomah pada jalan-Nya. Tentu perlu dibagun pula dengan kebiasaan positif.
Permasalahan yang sangat kompleks sekalipun yang sedang dihadapi pasti
memiliki jalan keluar. Kunci utamanya adalah kita hanya harus open mind,
membuka dan melebarkan pemikiran kita. Ketika dalam sebuah permasalahan
ternyata logika tidak dapat bekerja, gunakanlah lateral thinking yang
dimiliki. Oleh sebab itu tidak ada kata menyerah dan putus asa sehingga
kesuksesan bisa kita raih, positif thinking dan positif thinking... Rahasia
untuk sukses adalah bagaimana mengetahui yang orang lain tidak ketahui.
Bahkan seorang joko susilo pun melakukannya, lebih dulu memasuki yang orang
lain belum sempat menyadari, sehingga sekarang dapat memetik keberhasilan
dalam bisnis di internet. Intinya bagaimana potensi besar yang dimiliki oleh
setiap manusia dapat tergali dan lebih diberdayakan guna mencapai tjuan yang
bermanfaat serta kesuksesan.

Jalan itu licin dan menggelincirkan. Satu kakiku terpeleset di atasnya,
menendang kaki lainnya keluar dari jalur. Namun aku kembali tegak dan
berkata kepada diriku sendiri, ?Itu cuma terpeleset dan aku bukan jatuh?.









FILSAFAT TUKANG KERUPUK

Di jalanan sekitar rumah, biasanya sering kita temui banyak pedagang
yg menjajakan jualan nya sambil lewat depan rumah kita, antara lain
tukang kerupuk. Di dekat rumah, penjual kerupuk biasanya membawa
kerupuknya dalam kaleng besar yg dipikulnya atau mendorong gerobak.
Penjual kerupuk memiliki teriakan yg khas pula saat menjajakan
jualan nya, sehingga dari jauh kita sudah bisa tahu bilamana ada
tukang kerupuk akan lewat. Penggemar kerupuk akan menunggu suara
teriakan khas tukang kerupuk tersebut, pertanda ia akan lewat.

Kalau ada tukang jual kerupuk lewat, terus kita panggil, kemudian ia
berhenti dan datang ke tempat kita, berarti dagangan kerupuk nya
masih banyak, dan ia senang dipanggil.
Bilamana dipanggil dan ia terus berjalan saja, berarti kerupuknya
telah habis terjual, kaleng kerupuk nya telah kosong atau tak suka
dipanggil oleh kita.
Namun bilamana ada orang yg memikul kaleng kerupuk jualan, kemudian
kita panggil, tapi malahan ia lari, nah kalau ini patut dicurigai,
kemungkinan ia pencuri kerupuk....

Cerita penjual kerupuk tersebut bisa dianalogikan pula dengan
kondisi keimanan seorang muslim saat mendengar panggilan azan.

Bila kumandang azan terdengar dari mesjid dan ia merasa terpanggil
untuk bersegera sholat , artinya masih banyak dan masih kuat iman
nya. Bahkan ada sebagian muslim yg sangat rindu dengan panggilan
azan tersebut, sampai sengaja bersiap menunggu datangnya waktu
sholat .

Pada kondisi lain, bilamana azan terdengar dan ia tak peduli dan
terus pergi, kemungkinan iman nya telah mulai habis.

Namun bilamana azan terdengar, tapi malahan ia lari menjauh,
mungkin patut dipertanyakan keimanan nya sebagai seorang muslim.

Demikianlah analogi sederhana, bagaimana hati seorang muslim
menanggapi kumandang azan, yang bisa menjadi ukuran sederhana
seberapa besar kepedulian seorang muslim terhadap agamanya.
Sebagaimana dinyatakan, salah satu tanda seorang muslim yg taat
ialah orang yang akan tergetar hatinya bila ayat al Qur'an
dibacakan.

Demikianlah pula halnya, bergetar nya hati seorang pemuda, mendengar
nama kekasihnya disebut, apakah lagi mendengarkan nya langsung. Rasa
hati itu adalah pertanda kecintaan nya pada kekasih hatinya, sesuatu
yg sangat dekat di hatinya.

Bagaimana reaksi kita, saat mendengar kumandang suara azan, ataupun
bacaan ayat suci Al Qur'an, adalah pertanda tingkat kecintaan kita
kepada Yang Maha Mencintai , Pencipta kita semua, Allah swt.








Jalan Menuju Kebahagiaan Abadi



Sebuah kalimat bijak menyebutkan, �Semua perjalanan adalah perjalanan
kejiwaan.� Kita adalah jiwa yang sedang hidup di alam raga. Menurut
Teilhard de Chardin, �We are not human beings having a spiritual
experience, we are spiritual beings having a human experience.� (Kita
bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita
adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman
manusiawi. Manusia bukanlah �makhluk bumi� melainkan �makhluk
langit�).

Menyandar spiritualitas kejiwaan sebagai sentral kehidupan manusia,
Islam menekankan perlunya terus membina dan menjaga konstelasi dan
integritas spiritualitas tersebut. Sayangnya, sebagai makhluk
spiritual kita kerap �terjebak� pada fisik, emosi, dan pikir, manusia
kurang memperhatikan jati dirinya yang sejati.

Pada kondisi inilah Ramadhan dihadirkan oleh Allah SWT. Bulan yang
dijadikan sarana untuk kembali menemui dan mengasah jati diri sejati,
spiritual. Proses pengendalian diri sebagai inti dari puasa telah
menempatkan manusia kembali pada posisinya yang tepat. Melepaskan
semua belenggu-belenggu fisik, emosi, dan pikiran yang kerap
mengontaminasi spiritualitasnya. Karena, sesungguhnya saat manusia
mampu melepaskan diri dari ketertawanan fisik, emosi, dan pikir, maka
ia seolah terlahir kembali dari rahim ibunya. Bersih tanpa noda
sedikit pun

�Barangsiapa yang melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan penuh
harap kepada Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya di masa lalu.� (HR
Bukhari dan Muslim). Begitupun, bila puasa yang dilakukan hanya
sebatas fisik semata, tidak mampu menelisik hingga ke relung-relung
jiwa, maka ia tak akan memperoleh apa pun dari puasanya kecuali lapar
dan dahaga semata. (HR An-Nasai).

Dalam konteks manajemen hidup, Ramadhan memberikan banyak pelajaran.
Di sini, kita mampu menemukan kesejatian diri. Menyambut kehadiran
Ramadhan dengan suka cita, sebagaimana mengisinya dengan gembira dan
penuh antuasias, sesungguhnya menjadi awal pembuka kebahagiaan abadi
sebagai puncak kesuksesan diri yang dicari manusia.

Mampu memanfaatkan Ramadhan sebagai bagian ibadah terindah, berbagi
yang terbaik, dan berjuang dengan sepenuh hati, merupakan mekanisme
perjalanan jiwa menuju kesejatiannya. Menemukan diri yang sebenarnya.
Itulah diri spiritual.

�Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya itu
untuk-Ku dan Aku yang akan mengganjarnya. Puasa itu adalah perisai.
Jika datang hari puasa seseorang di antara kalian, maka janganlah ia
berkata rafats dan jangan memaki. Jika ada orang memakinya atau
memancing berkelahi, hendaklah ia berkata: 'Aku sedang berpuasa'. Demi
Zat yang jiwa Muhammad di tangannya, sesungguhnya bau mulut orang yang
berpuasa di sisi Allah lebih wangi daripada wangi misik. Orang yang
berpuasa memiliki dua kebahagiaan: jika ia berbuka, ia berbahagia; dan
jika ia bertemu Tuhannya, ia berbahagia karena puasanya.� (HR Bukhari,
Muslim, an-Nasai, Ibn Majah, dan Ahmad).







Takdir

Apa sih yang namanya takdir itu ? He.. he... ini sih omonganku sebagai orang
awam saja yang jauh dari kebenaran yang hakiki. Yang pasti iman kepada takdir
Allah merupakan salah satu rukun iman.

Pemahaman tentang takdir bagi setiap orang tentu saja berbeda-beda tergantung
sudut pandang yang dipakai dalam memahami takdir. Pemahaman tentang takdir,
bagiku mengalami perubahan antara pemahamanku yang dulu dan yang sekarang.

Dulu aku memahami takdir dengan cara yang sederhana, dengan contoh sederhana
untuk keyakinanku sendiri. Anggapanku waktu itu, Allah sudah menetapkan
masing-masing takdir untuk berbagai pilihan yang ada, tergantung kita sendiri
mau menjalani takdir yang mana. Jadi aku menganggap bahwa variabel takdirku dan
kombinasi antara variabel takdirku ada dalam jumlah yang tak terhingga, tinggal
akunya yang menentukan variabel takdir yang mana. Misalnya besok akan ada
ulangan/ujian/test yang terdiri dari 10 soal dan masing-masing soal nilainya
10,
sehingga kalau umpama benar semua takdirnya ya nilai 100, kalau benarnya cuma 6
soal ya takdirnya dapat nilai 60. Jadi tinggal bagaimana usaha belajarku
mempersiapkan diri menempuh ujian. Sehingga misalnya aku ogah-ogahan belajar
sehingga soal yang kukerjakan hanya benar 5 soal ya takdirnya aku dapat nilai
50
bukan karena sejak semula aku ditakdirkan dapat nilai 50. Begicu...

Setelah itu muncul lagi pemahaman akibat dari kebingungan dari dua hal yang
seakan-akan bertentangan yaitu :
[Q.S. 13:11] Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.


Wah berarti menurut ayat tersebut perubahan takdir manusia itu ya tergantung
manusianya sendiri, mau atau tidak untuk berubah. Lha sedangkan dalam salah
satu
hadits kita diajarkan untuk mengucapkan :
Laa haula walaa quwwata illaa illaahil'aliyyil'adzhim. (Tiada daya dan tiada
kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).


Yang satu faktor dominannya adalah manusia itu sendiri tetapi yang satu lagi
faktor dominannya adalah Allah, tiada kan berarti kebalikannya yaitu hanya
Allah. Lha bagaimana itu ?

Setelah mengalami fase perenungan, pencarian dan pengalaman akhirnya muncul
suatu pemahaman yang lebih baru lagi yaitu bahwa di antara keduanya sama sekali
tidak ada yang bertentangan. Misalnya saat ini takdir Allah yang sedang berlaku
untuk diriku adalah AKU SEDANG SAKIT (Titik A). Aku ingin sembuh, maka aku
harus
mengubah keadaanku agar terjadi kesembuhan yaitu dengan jalan berobat baik ke
dokter atau minum obat yang sesuai atau dengan memperbaiki asupan gizi yang
masuk ke dalam tubuhku. Setelah berbagai upaya itu aku jalani maka terjadilah
kesembuhan atas penyakitku (Titik B). Secara nalar kesembuhan atas sakitku
adalah karena upayaku sendiri mendapatkan kesembuhan itu sendiri dengan jalan
berobat. Tetapi bila ditelusuri lagi dari mana sih timbulnya keinginan untuk
sembuh itu, dari mana juga timbulnya niat untuk berobat, lalu siapa yang
mengatur pertemuanku dengan dokter atau dengan obat yang pas ? Ternyata tidak
lepas dari Allah juga.

Jadi kesimpulannya dari posisi takdir pada Titik A menuju posisi takdir pada
Titik B memang harus ada ikhtiar, tetapi ternyata ikhtiar itu sendiri juga
merupakan takdir Allah. Sehingga Allah kalau berkehendak mengubah takdir
seorang
hamba pada titik yang lain, maka Allah juga yang mempersiapkan ikhtiar
perubahan
itu sehingga si hamba berada pada titik yang dikehendaki-Nya.

Seiring berjalannya waktu, ditambah pemahaman-pemahaman baru yang aku dapatkan
di sepanjang perjalananku terutama juga dari bimbingan Syekh Luqman, aku jadi
mengerti bahwa semula ada dua golongan pemikiran tentang takdir, yaitu serba
Tuhan (Jabariyah) dimana dalam paham golongan ini manusia sama sekali tidak
bisa
berkehendak � mutlak kehendak Allah. Jadi bagi yang menyalahpahami sering hal
itu dijadikan alasan, misalnya mengatakan kalau saya berbuat maksiat itu ya
karena Allah mentakdirkan seperti itu. Ada juga golongan yang kedua dengan
pahamnya yang serba manusia, dalam pengertian manusia bebas tanpa campur tangan
tuhan, jadi setelah Allah menciptakan semesta ini ya sudah dibiarkan berjalan
dengan sendirinya. Masing-masing golongan ada benarnya dan juga ada salahnya
menurutku. Lha terus bagaimana dong ?

Dari dua golongan tersebut menurut Syekh Luqman, ada tempatnya masing-masing,
ada wilayahnya sendiri-sendiri, yaitu dimensi hakikat/wilayah hati dan dimensi
syariat/wilayah akal-pikiran.

Bahwa segala hal yang terjadi baik yang sudah, sedang maupun yang belum secara
hakiki adalah sepenuhnya takdir Allah dan hal tersebut adalah wilayah hati
untuk
meyakininya. Tetapi dalam dimensi syariat atau menurut wilayah akal, segala hal
haruslah direncanakan, distrategikan, dihitung, ditata dan diusahakan untuk
hasil yang terbaik. Dua hal tersebut harus dapat berjalan seiring tanpa boleh
terbolak-balik atau pun campur aduk. Misalnya dalam suatu musibah kecelakaan
pesawat terbang, hati harus langsung menerima bahwa secara hakiki itulah takdir
Allah, tetapi secara syariat dalam wilayah akal ya harus tetap diusut
penyebabnya apa, kesalahannya terletak di mana dan apa tindak lanjutnya serta
bagaimana antisipasi ke depannya agar kasus serupa tidak terulang kembali.

Misalnya lagi dalam menjalankan suatu usaha, hati ya harus berserah diri bahwa
apa pun yang terjadi nantinya adalah takdir Allah sehingga sejak awal sudah
harus bertawakal, sedangkan akal ya harus tetap menghitung bagaimana proses
produksi yang efektif dan efisien, bagaimana strategi pemasarannya dan
sebagainya. Tidak boleh dibolak-balik, misalnya hati ikut mikir tidak mau
berserah diri sehingga mengalami kecemasan, ketegangan dan selalu bergemuruh.
Atau sebaliknya akalnya yang pasrah, ya tidak bisa jalan itu.

Mungkin ini rumus sederhananya seperti ini :
1. Wilayah tidak bebas -> hakikat -> qolbu : yakinlah bahwa setiap
detik
kehidupan kita dalam segala aspek sudah ditakdirkan oleh Allah, sehingga
sangatlah rugi bagi kita bila tidak menyertai ketentuan Allah tersebut
dengan ingat kepada-Nya / dzikir, untuk itu detakkanlah jantung kita
dengan
berdzikir kepada-Nya : ALLAH�.. ALLAH�.. terus.
2. Wilayah bebas -> syariat -> akal : harus berusaha
mengoptimalkan segala
potensi kehidupan yang sudah dikaruniakan-Nya kepada kita untuk selalu
berusaha mencapai yang terbaik yang bisa kita capai dalam kehidupan ini.
Satu hal lagi yang terpenting adalah jangan sampai menyesali apa pun yang sudah
terjadi. Yang sudah terjadi ya sudah lha wong takdir, jangan sampai kemudian
berandai-andai seperti : �Wah... kalau saja dulu saya begini� atau �Umpamanya
dulu saya begitu pasti engga begini jadinya�. Menurut Syekh Luqman misalnya di
masa lalu kita berbuat dosa ya sudah bertobat saja anggap saja dengan bahasa
kesadaran kita bahwa mungkin Allah memang mentakdirkan kita untuk berbuat dosa
dalam rangka lebih mendekatkan diri kita pada Allah. Begitu. Tetapi tidak boleh
untuk yang kedepannya dengan alasan takdir, misalnya :�Ah saya tak berbuat dosa
aha nanti saya akan begini begitu�, nah itu tidak boleh.

Sekedar intermezo, saya dulu juga suka begitu waktu kuliah terutama kalau
sehabis Ujian Akhir Semester yang kebetulan engga bisa ngerjakan soal ujiannya
dan ada tanda-tanda kalau harus mengulang mata kuliah yang sama. Teman-teman
pasti berguraunya : �Wis, sing uwis yo wis, sing durung dibaleni semester
ngarep�.