RENUNGAN HATI


batu yang sujud

JAGA 7 SUNNAH NABI

Cerdasnya
orang yang beriman adalah, dia yang mampu mengolah hidupnya yang
sesaat, yang sekejap untuk hidup yang panjang. Hidup bukan untuk hidup,
tetapi hidup untuk Yang Maha Hidup. Hidup bukan untuk mati, tapi mati
itulah untuk hidup.
Kita jangan takut mati, jangan mencari mati, jangan lupakan mati,
tapi rindukan mati. Karena, mati adalah pintu berjumpa dengan Allah
SWT. Mati bukanlah cerita dalam akhir hidup, tapi mati adalah awal
cerita sebenarnya, maka sambutlah kematian dengan penuh ketakwaan.
Hendaknya kita selalu menjaga tujuh sunnah Nabi setiap hari. Ketujuh sunnah
Nabi SAW itu adalah:

Pertama, Tahajjud
karena kemuliaan seorang mukmin terletak pada tahajjudnya.

Kedua, membaca Al-Qur�an sebelum terbit matahari
Alangkah baiknya sebelum mata melihat dunia, sebaiknya mata membaca Al-Qur�an
terlebih dahulu dengan penuh pemahaman.

Ketiga,
Jangan tinggalkan masjid terutama di waktu shubuh. Sebelum melangkah
kemana pun langkahkan kaki ke masjid, karena masjid merupakan pusat
keberkahan, bukan karena panggilan muadzin tetapi panggilan Allah yang
mencari orang beriman untuk memakmurkan masjid Allah.

Keempat,
jaga shalat Dhuha karena kunci rezeki terletak pada shalat dhuha.

Kelima
jaga sedekah setiap hari.
Allah menyukai orang yang suka bersedekah, dan malaikat Allah selalu mendoakan
kepada orang yang bersedekah setiap hari.

Keenam
jaga wudhu terus menerus karena Allah menyayangi hamba yang
berwudhu. Kata khalifah Ali bin Abu Thalib, �Orang yang selalu berwudhu
senantiasa ia akan merasa selalu shalat walau ia sedang tidak shalat,
dan dijaga oleh malaikat dengan dua doa, ampuni dosa dan sayangi dia ya
Allah�.

Ketujuh, amalkan istighfar setiap saat.
Dengan istighfar masalah yang terjadi karena dosa kita akan dijauhkan oleh
Allah.
Dzikir, kata Arifin Ilham, adalah bukti syukur kita kepada Allah.
Bila kita kurang bersyukur, maka kita kurang berdzikir pula, oleh
karena itu setiap waktu harus selalu ada penghayatan dalam melaksanakan
ibadah ritual dan ibadah ajaran Islam lainnya.
�Dzikir merupakan makanan rohani yang paling bergizi,� katanya, dan
dengan dzikir berbagai kejahatan seperti narkoba, KKN, dan lainnya
dapat ditangkal sehingga jauhlah umat manusia dari sifat-sifat hewani
yang berpangkal pada materialisme dan hedonisme.







BERUSAHA MELUPAKAN JASA KITA

Semakin kita sering
menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, apalagi
menginginkan orang lain tahu akan jasa dan kebaikan diri kita, lalu berharap
agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya maka semua ini berarti kita
sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri
mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.
Ketahuilah bahwa
semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak
kita akan mengalami kekecewaan. Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi
tanpa ijin Allah. Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Allah tidak
menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan
terkecewakan
karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk. Belum lagi kerugian di
akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu
beramal bukan karena Allah.

Selayaknya kita
menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain,
sesungguhnya bukanlah kita berjasa melainkan Allah-lah yang berbuat, dan kita
dipilih menjadi jalan kebaikan Allah itu berwujud. Sesungguhnya terpilih
menjadi
jalan saja sudah lebih dari cukup karena andaikata Allah menghendaki kebaikan
itu terwujud melalui orang lain maka kita tidak akan mendapat
ganjarannya.

Jadi, ketika ada
seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang dokter. Maka, seberulnya
bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut, melainkan Allah-lah yang
menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan. Seharusnya dokter sangat
berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi ladang pahala
untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari Allah baginya.
Namun, andaikata sang dokter menjadi merasa hebat karena jasanya, serta sangat
menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan maka selain memperlihatkan
kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak rendah mutu kepribadiannya
(seperti yang kita maklumi orang yang tulus dan rendah hati selalu bernilai
tinggi dan penuh pesona). Selain itu, di akhirat nanti niscaya akan termasuk
orang yang merugi karena tidak beroleh pahala ganjaran.

Juga, tidak
selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari mengandung, melahirkan,
mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk membuat sang anak merasa
berhutang budi. Apalagi jika dilakukan secara emosional dan proporsional kepada
anak-anaknya, karena hal tersebut tidak menolong mengangkat wibawa sang ibu
bahkan bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena sesungguhnya sang anak
sama sekali tidak memesan untuk dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya
lakukan itu adalah sudah menjadi kewajiban seorang ibu.

Percayalah bahwa
kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan aeorang ibu/bapak justru akan
bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani tugas ini dengan baik,
Insya Allah. Allah-lah yang akan menghujamkan rasa cinta di hati anak-anak dan
menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.
Seorang guru juga
harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada murid-muridnya.
Karena memang kewajiban guru untuk mengajar dengan baik dan tulus. Dan memang
itulah rizki bagi seseorang yang ditakdirkan menjadi guru. Karena setiap
kebaikan yang dilakukan muridnya berkah dari tuntunan sang guru akan menjadi
ganjaran tiada terputus dan dapat menjadi bekal penting untuk akhirat. Kita
boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur
bukan ujub dan takabur.
Perlu lebih
hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada salah
seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar. Biasanya akan sangat gatal
untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai gurunya plus kadang
dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada tempatnya akan
menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.

Andaikata ada
sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya sehingga mesinnya hidup
dan bisa jalan dengan baik. Namun ternyata sang supir sama sekali tidak
berterima kasih. Jangankan membalas jasa, bahkan menengok ke arah kita pun
tidak
sama sekali.. andaikata kita merasa kecewa dan dirugikan lalu dilanjutkan
dengan
acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus memaki sang supir. Maka
lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin. Dan tentu saja amal pun jadi tidak
berpahala dalam pandangan Allah karena tidak ikhlas, yaitu hanya berharap
balasan dari makhluk.
Seharusnya yang
kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah takdir diri ini
diijinkan Allah bisa mendorong mobil. Silahkan bayangkan andaikata ada mobil
yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang sakit tidak berdaya,
niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan mendorong mobil. Atau
diri
ini sedang sehat perkasa tapi mobil tidak ada yang mogok, lalu kita akan
mendorong apa?

Takdir mendorong
mobil adalah investasi besar, yakni kalau dilaksanakan penuh dengan ketulusan
niscaya Allah yang Maha Melihat akan membalasnya dengan balasan yang
mengesankan. Bukankah kita tidak tahu kapan kita akan mendapatkan kesulitan di
perjalanan, maka takdir beramal adalah investasi.
Mari kita
bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak mungkin dan
sesegera mungkin. Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah
melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya.
Allah
SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang
sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya. Salah satu ciri orang
yang
ikhlas menurut Imam Ali adalah senang menyembunyikan amalannya bagai
menyembunyikan aib-aibnya.

Selamat berbahagia
bagi siapapun yang paling gemar beramal dan paling cepat melupakan jasa dan
kebaikan dirinya, percayalah hidup ini akan jauh lebih nikmat, lebih ringan,
dan
lebih indah. Insya Allah.***







CAHAYA PENDERITAAN

Salah satu yang kita takuti dalam hidup ini adalah penderitaan. Kita
menghabiskan uang sekedar ingin menghindar dari penderitaan karena seringkali
kita mengidentikkan penderitaan sebagai hukuman, kesalahan, azab, dosa dan
hal-hal yang menakutkan. Itulah sebabnya begitu kita terkena penyakit kronis,
keluarga berantakan, terkena PHK, mulailah duka cita muncul menakutkan hidup
kita.

Bila kita sudah dalam tahap ridha terhadap kasih sayang Allah, penderitaan
bukanlah hukuman, bukan kesalahan, bukan azab dan juga bukan dosa. Penderitaan
adalah cahaya agar kita kembali kehadiratNya.

Bila kita hidup hanya diisi dengan suka cita, kebahagiaan, kegembiraan,
kesenangan maka kita akan terus menerus melekat dengan urusan duniawi serta
berputar tiada habisnya. Perpisah dengan yang menyenangkan, berkumpul dengan
yang menjengkelkan, itulah samudra penderitaan. Itulah sebabnya bagi
orang-orang mukmin tidak menghindar dari penderitaan malam memilih berenang dan
menyelam disamudra penderitaan. Kemudian menyimpulkan bahwa ada keindahan di
dalam duka cita.

Lihatlah orang-orang mukmin dengan berbekal keikhlasan dan keridhaan dengan
kekhusyukannya dalam sholat malam semakin dengan dengan cintaNya Allah
Subhanahu Wa Ta'ala. Disamping menemukan ketenteraman di dalam hatinya juga
tumbuh sifat cinta dan kasih sayang. Orang yang menjengkelkan dengan suka
mencaci maki senyatanya mereka adalah orang yang menderita. Jika kita sudah
menemukan cahaya di dalam penderitaan maka kita tidak akan bisa marah namun
malah welas asih yang menyirami hati kita karena kita tahu semua itu datangnya
dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Janganlah engkau bersikap lemah dan janganlah pula engkau bersedih hati.
Padahal engkaulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya. Jika engkau
orang-orang yang beriman.' (QS. ali-Imran : 139).










MEMAHAMI JIWA

Al Qur'an maupun Hadis banyak sekali menyebut manusia, menyangkut status, hak dan kewajiban, sifat serta kecenderungannya. Dalam al Qur'an manusia disebut dengan nama (1) insan, ins, nas atau unas, (2) basyar, dan (3) bani Adam atau zurriyat Adam. Menurut kebanyakan tafsir, manusia sebagai basyar lebih menunjukkan sifat lahiriah serta persamaannya dengan manusia lain sebagai satu keseluruhan sehingga Nabipun seperti yang tersebut dalam (Q/18:110) disebut sebagai basyar seperti manusia yang lain, hanya saja kepada Nabi diberi wahyu yang membuatnya berbeda dengan basyar yang lain .Sedangkan nama insan yang berasal dari kata uns yang berarti jinak, harmoni dan tampak, atau dari kata nasiya yang artinya lupa, atau dari kata anasa yanusu yang artinya berguncang menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raganya.Manusia dalam pengertian sebagai insan inilah yang memiliki problem-problem kejiwaan, karena kapasitas dan kualitas jiwa tiap orang berbeda-beda. Perbedaan manusia antara yang satu dengan yang lainnya bisa merupakan perbedaan fisik, bisa juga perbedaan mental dan kecerdasan. Dalam konteks terapan (konseling misalnya), pembahasan yang relevan tentang manusia adalah sebagai insan, yakni pada sisi dalam (jiwa) yang ada pada setiap manusia yang mempengaruhi perilakunya, yang mempengaruhi cara berfikir dan cara merasanya. Ada dua status yang disandang manusia seperti yang disebut dalam al Qur'an, menggambarkan kebesaran sekaligus kelemahan manusia, yaitu status sebagai khalifah Allah (Q/2:30, Q/38:29) dan sebagai hamba Nya atau 'abd Allah (Q/2:221, Q/16:77). Dalam hubungannya dengan Sang Pencipta, manusia adalah kecil dan lemah, karena ia hanya sebagai hamba Nya atau 'abd Allah, sedangkan dalam hubungannya dengan sesama ciptaan Allah di muka bumi ini, manusia memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia, yaitu sebagai KhalifahNya, sebagai wakilNya dimana ia diberi tanggung jawab untuk atas nama Tuhan menegakkan hukum-hukumNya di muka bumi ini, dan sebagai imbalannya, seluruh isi bumi ini diserahkan pengelolaan dan pemanfaatannya untuk manusia. Jadi manusia menurut al Qur'an adalah besar pada satu dimensi, dan kecil menurut dimensi yang lain. Dari dua dimensi yang kontras inilah maka manusia dalam merespond suatu masalah terkadang berjiwa besar, sportip, bertanggung jawab, siap memberi dan berani, tetapi di kala yang lain ia berjiwa kecil, penakut, curang, tidak bertangung jawab dan putus asa. Manusia memang unik, ia memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu, baik yang positip maupun yang negatip, dan diantara tarik menarik positip-negatip itulah sebenarnya hakikat kemanusiaan manusia diuji kualitasnya. Fungsi jiwa adalah untuk berfikir, merasa dan berkehendak. Bagaimana kualitas ataupun corak kejiwaan seseorang dapat dilihat dari cara berfikir dan cara merasanya. Dalam al Qur'an, aktifitas berfikir dan merasa dihubungkan dengan apa yang disebut dengan nafs (jiwa), qalb (hati), bashirah (hati nurani) dan 'aql (akal), syahwat dan hawa.. Jiwa manusia bekerjanya bersistem, dapat disebut sebagai sistem nafsani, dengan akal,hati,nurani,syahwat dan hawa sebagai sub sistemnya.








MENGHAYATI HIDUP DENGAN KASIH SAYANG

Secara psikologis orang yang sehat adalah orang yang mampu mendermakan cinta pada sesamanya. Sedangkan orang yang hatinya dipenuhi rasa permusuhan, dengki, cemburu dan kebencian semuanya merupakan beban mental yang menjurus pada penyakit kejiwaan. Dalam Islam, penghayatan kasih sayang digunakanlah istilah ridha. Pengertian ridha adalah sikap yang didasari pengetahuan, kesadaran dan keyakinan bahwa kasih sayang Allah meluap memenuhi ruang dan waktu. Sesungguhnya hidup kita dalam lingkup kasih sayang Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sikap ridha akan selalu berpikir positif terhadap hidup karena dibalik fragmen kehidupan terkadang ada adegan-adegan yang pahit dan buram mekipun terkandung hikmah dari pancaran kasih sayang Allah. Bagi orang yang mencapai derajat ridha akan selalu melihat hikmah dibalik musibah maupun cobaan. Setiap musibah menyimpan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, Allah melimpahkan kasih sayangNya. Dan kemungkinan kedua, karena kelalaian manusia itu sendiri. Dengan demikian ritme hidup kita ditandai dengan dialektika rasa syukur dan sikap sabar. antara harapan dan kecemasan, antara kelegaan dan penyesalan. Namun semua itu bagi orang yang ridha akan dihadapinya dengan sikap optimis dan pandangan positif karena begitu yakinnya akan kasih sayang Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang dibentangkan melalui sayap Rahman dan RahimNya dan disisi lain melalui tawaran taubat dan maghfiroh atau ampunan. Menurut al-Quran dijelaskan bahwa kehidupan dunia itu baik tetapi jauh lebih baik kalau kebaikan di dunia dijadikan wahana atau tangga untuk menuju kehidupan akherat yang lebih baik. 'The will to love' yang secara intrinsik dimiliki oleh kita akan menyesatkan kalau hanya mencintai yang fana atau semu. Maka bentuk ancaman dan perintah Allah yang tertuang di dalam kitab suci semuanya dalam konteks kasih sayang Allah untuk menyelamatkan kita agar tidak terjatuh menjadi hawa nafsunya sendiri atau menjadi hamba makhluk yang lebih rendah atau sama derajatnya dengan diri kita. Rasa keterasingan, kesunyian ditengah keramaian, merasa kesepian dalam kesendirian akan terkikis secara emosional apabila kita memiliki hubungan yang hangat dengan Yang Maha Kasih. Ketiadaan hubungan kepada yang Maha Kasih inilah yang menimpa banyak orang sehingga begitu mudahnya terseret pada situasi putus asa bahkan sampai bunuh diri. Berdasarkan survei penyebab bunuh diri ditengah masyarakat justru bukanlah masalah yang teramat berat. Diantaranya karena kekecewaan akibat putus cinta, perselisihan rumah tangga, gagal dalam karier telah membuat seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Hal ini menunjukkan betapa dangkal dan lemahnya iman seseorang dalam menghayati hidup. Dalam pandangan Islam, mereka telah terperosok dalam 'pinggiran' dimensi spiritual yang mampu menangkap dan merasakan kehadiran Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam dirinya tidak bisa berfungsi. Hatinya telah tertutupi oleh nafsu bagi masuknya cahaya dan kasih sayang Allah sehingga mereka juga kehilangan kasih sayang yang ada pada dirinya. Demikianlah bila dunia hanya pendekatan sistem, teknis dan teknologi semata akan memunculkan kehidupan yang kering, mekanik dan tidak manusiawi. Produk sistem dan teknologi tanpa visi cinta dan kasih sayang Ilahi Robbi maka menjadikan hidup kita tak ubahnya seperti robot, kesepian dalam keramaian, kesendirian tak berteman. Paradigma kasih sayang akan menuntun kita sikap arif dan konsisten untuk mengembangkan potensi kemanusiaan maka realitas dunia tampak begitu indah sekaligus challenging, bukan fringtening. Orang Mukmin adalah 'Lover of Wisdom' atau Cinta Kearifan. Karena cinta kearifan dan semangatnya pada kemanusiaan maka Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Salam semakin nampak tegar dan anggun ditengah cobaan dan tantangan yang selalu menghadang dan mengitarinya. Lantas bagaimana dengan kita? Mampukah kita meneladani Nabi Muhammad?