hikmah

Dosa Primordial
Seorang Muslim sedang berdoa di Masjid Volklingen

DOSA PRIMORDIAL

Pada suatu hari, Rasulullah SAW ditanya tentang kebajikan dan keburukan (dosa). Jawabnya, "Kebajikan (al-birr) adalah budi pakerti luhur (husn al-huluq), sedangkan keburukan atau dosa (al-itsm) adalah apa yang membuat hatimu resah, dan kamu tidak ingin orang lain mengetahuinya." (HR. Muslim dari Ibn Sam`an al-Anshari).

Hakikat dosa, kata pakar hadis al-Munawi, adalah sesuatu yang membuat jiwa tak tenang dan hati tak tenteram. Hal ini, karena menurut fitrahnya, manusia lebih condong kepada kebenaran. Hati ibarat cahaya yang bersih dan terang. Oleh sebab itu, bila orang melakukan kebaikan, maka akan timbul sinergi dan harmoni (antara dua cahaya), yang selanjutnya mendatangkan kedamaian. Sebaliknya, demikian al-Munawi, jika orang melakukan kejahatan (dosa), maka cahaya hati bakal meredup dan tak terjadi sinergi, sehingga timbul kegelisahan. (Faydh al-Qadir :3/825).

Dosa umumnya diklasifikasi ke dalam dua kategori, yaitu dosa-dosa besar (al-kaba'ir) dan dosa-dosa kecil (al-shagha`ir). Para ulama, seperti dikutip al-Ghazali dalam Ihya' `Ulum al-Din, berselisih paham soal terma besar dan kecil itu. Ada pendapat, setiap tindakan melawan hukum Allah adalah dosa besar. Ada pula yang berpendapat, dosa dipandang besar apabila diancam dengan api neraka, diancam dengan pidana, serta disebut larangannya secara eksplisit dalam Alquran.

Diakui, dalam Alquran memang disebutkan dosa-dosa besar (QS an-Nisa'[40]: 31 dan asy-Syura[42]:37); begitu pula dalam hadis. Dalam satu hadis, dosa-dosa besar itu disebut ada empat, yaitu syirik, durhaka kepada ibu-bapak, membunuh, dan sumpah palsu (pembohongan publik). Dalam riwayat lain, disebeutkan ada tujuh, yaitu empat di atas, ditambah sihir, riba, makan harta anak yatim, disersi, dan tuduhan zina kepada wanita mulia (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Di luar semua itu, ada tiga dosa yang dianggap sebagai biang dan pangkal kejahatan. Pertama, dosa sombong dan membanggakan diri (al-kibr), dosa yang dahulu dilakukan oleh Iblis (QS al-Baqarah [2]: 34). Kedua, dosa serakah dan loba, dosa yang dahulu pernah dibuat oleh Nabi Adam AS dan istrinya, Hawa (QS al-Baqarah [2]: 36). Ketiga, dosa dengki dan iri hati, dosa yang dahulu pernah dilakukan oleh Qabil. Karena iri hati, Qabil tega menghabisi nyawa adik kandungnya sendiri. (QS al-Ma'idah [5]: 27).

Ketiga dosa ini, karena sifatnya yang besar dan berpotensi mendorong lahirnya dosa-dosa lain, serta pernah terjadi dan dilakukan oleh manusia pada masa yang paling awal, maka tak berlebihan bila ketiga dosa tersebut dinamai "Dosa Primordial". Wallahu a`lam!








SEBELUM KONTRAK BERAKHIR

Dikisahkan bahwa malaikat maut (Izrail) bertemu dengan Nabi Sulaiman AS. Ia datang dengan bentuk manusia sehingga tak seorang pun yang mengetahui kedatangannya selain Nabi Sulaiman. Saat itu Nabi Sulaiman sedang berkumpul dengan beberapa orang sahabatnya. Saat malaikat maut hendak pergi ia memandang salah seorang sahabat Nabi Sulaiman dengan pandangan yang aneh, lalu pergi.

Setelah malaikat maut pergi, sahabat Nabi Sulaiman itu bertanya, "Wahai Nabiyullah, mengapa ia memandangiku seperti itu?" Jawab Nabi Sulaiman, "Ketahuilah, dia itu adalah malaikat maut."

Kemudian sahabat Nabi Sulaiman itu berkata, "Wahai Nabi, tiupkanlah angin dengan kencang, sehingga angin itu membawaku ke puncak negeri India, sesungguhnya aku berfirasat buruk."

"Apakah engkau akan lari dari takdir jika maut akan menjemputmu?" tanya Nabi Sulaiman. "Sesunguhnya Allah memerintahkan kita untuk mencari sebab-sebabnya. Dan, aku yakin bahwa engkau akan mengabulkan permintaanku." kata sahabat Nabi Sulaiman itu. Kemudian, Nabi Sulaiman memerintahkan kepada angin untuk membawanya ke tempat yang diinginkan.

Selang beberapa saat malaikat maut datang, Nabi Sulaiman bertanya, "Apa urusanmu dengan salah seorang sahabatku, mengapa engkau pandangi dia seperti itu?"

Malaikat maut menjawab, "Aku memandanginya seperti itu dikarenakan ia tercatat didaftar kematian bahwa ia akan mati di sebuah negeri di India. Aku heran, bagaimana ia dapat pergi ke sana sedangkan ia ada bersamamu? Kemudian, di tempat yang telah ditentukan, pada waktu yang telah digariskan kulihat ia datang kepadaku dan kucabut nyawanya."

Kisah di atas mengingatkan kepada kita bahwa malaikat maut akan selalu mengintai siapa saja yang masa kontraknya akan berakhir di dunia ini. Jika masa kontraknya habis maka tak seorang pun dapat lari darinya. ".� Maka, apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya." (QS al-A'raf [7]: 34).

Dalam ayat lain Allah SWT menegaskan, "Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya." (QS Qaf [50]: 19).
Lari kepada dokter bila sakit menimpa, lari kepada makan bila rasa lapar datang, lari kepada minum bila rasa haus menghampiri. Lalu, lari kepada siapa bila kematian akan menjemputmu?

Sungguh, tak seorang pun dapat lari darinya sekalipun berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS an-Nisa' [4]: 78).

Oleh karena itu, sebelum masa kontrak berakhir, "Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan." (HR Tirmidzi). Wallahu a'lam.






Hikmah: Karakter Umat
Jemaah berdoa bersama dalam pengajian majelis taklim di Masjid Attin,


HIKMAH:KARAKTER UMAT

Mengkaji Alquran ayat terakhir dari surah al-Fath [48] yaitu ayat ke-29, akan memberikan pemahaman kepada kita tentang dua hal penting, yaitu siapa sebenarnya Muhammad SAW, dan apa karakteristik umat Muhammad SAW. Siapakah Muhammad itu? Muhammad itu adalah utusan Allah (Muhammadurrasulullah). Jawaban Allah ini juga terdapat dalam surah al-Ahzab [33]: 40, Muhammad adalah utusan Allah dan penutup para Nabi (rasuulallah wa khaatama an-nabiyyiin).

Selanjutnya melalui ayat 29 dari surah al-Fath tersebut, Allah menginformasikan tentang empat karakteristik umat Muhammad SAW. Pertama, memiliki kualitas iman yang kokoh. "Dan orang-orang yang bersama dengan dia (Muhammad) bersikap keras terhadap orang-orang kafir". Hanya dengan iman yang kokoh, orang Islam akan memiliki sikap tegas terhadap segala sifat, perilaku orang-orang kafir, dan menolak segala hal yang berlawanan dengan keimanan. Dengan kekuatan iman dan akhlak, Allah SWT melarang kita bersifat lemah dan selalu berdamai dengan orang kafir (QS Muhammad [47]: 35).

Kedua, penuh kasih sayang. "Tetapi berkasih sayang di antara mereka", yaitu kasih sayang dalam persaudaraan yang dilandasi oleh ikatan iman yang hak, yaitu iman kepada seluruh rukun iman. Karakter ini juga dijelaskan Allah SWT; "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat." (QS al-Hujurat [49] : 10).

Ketiga, tekun beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan. "Mereka rukuk dan sujud (shalat) mencari karunia Allah dan keridaan-Nya." Ikhlas adalah ruh setiap ibadah dalam Islam, tanpa keikhlasan maka segala amal ibadah akan menjadi sia-sia. Imam Nawawi menjelaskan dengan baik, tiga bentuk ibadah yang masih bernilai ikhlas, yaitu ibadah yang dikerjakan dengan niat takut kepada siksa Allah SWT, mengharap pahala dari Allah SWT, dan yang utama adalah berniat untuk mensyukuri nikmat yang telah dianugrahkan Allah SWT.

Karakter keempat adalah selalu tampil dengan akhlak mulia. "Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud." Bekas itu bisa berarti efek, dampak, pengaruh atau buah dari suatu perbuatan tertentu. Sebagaimana firman Allah SWT: "� dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar �" (QS al-Ankabut [29]: 45). Buah dari shalat adalah lahirnya akhlak mulia, yaitu kemampuan menghindarkan diri dari perbuatan keji dan munkar.

Karena itu, maka umat Muhammad SAW tidak cukup hanya memiliki keimanan yang kuat, rasa kasih sayang sesama Muslim dan ketekunan beribadah kepada Allah SWT semata. Umat Muhammad SAW mesti tampil dan berkarakter akhlak mulia, mulia lisannya, mulia pikirannya, mulia hatinya, dan mulia perilaku hidupnya sehari-hari, sebagai buah dari keimanan dan ibadahnya kepada Allah SWT.

Ketika karakter akhlak mulia telah menjadi panglima, maka kesuksesan dan kebahagiaan hidup menanti kita, dan Muhammad SAW telah membuktikannya. Bagaimana dengan kita umatnya? Wallahu a'lam.






HIKMAH:TEOLOGI UJIAN


Hikmah: Teologi Ujian
Ilustrasi


Dua firman Allah berikut, sungguh relevan bagi orang-orang yang diuji. Pertama, firman Allah di dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 155: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. "

Kedua, firman Allah yang terdapat di dalam QS An-Naml [27] ayat 40: "Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Di dua ayat itu, Allah SWT menanamkan pemahaman di alam bawah sadar manusia, bahwa istilah bala� (ujian/cobaan) yang dipakai-Nya di dalam Alquran ternyata mempunyai dua sisi makna, yaitu musibah dan nikmat.

Sungguh, akidah atau teologi mengenai bala� yang terdapat di dalam Alquran ini di luar dugaan kita sebelumnya yang mengaitkan bala� pada musibah saja. Untuk bala� yang berarti musibah, di ayat 155 surat Al-Baqarah itu, Allah menyatakan dengan tegas bahwa Dia akan memberikan cobaan kepada kita semua, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.

Sementara bala� yang bermakna nikmat, Anda bisa melihatnya di dalam QS. An-Naml: 40. Ayat ini semacam penegasan dari ayat-ayat sebelumnya yang dimulai sejak ayat 15, di mana rangkaian firman Allah itu menceritakan kenikmatan-kenikmatan yang diberikan kepada Nabi Sulaiman, yaitu ilmu, bala tentara dari jin-manusia-burung, kemampuan mendengarkan bahasa semut, dan yang paling fantastik ialah tatkala Sulaiman melihat singgasana Ratu Balqis sekejap mata sudah terletak di hadapannya.

Nah, di ayat 40 itulah, Sulaiman menyadari melalui ungkapan tauhid rububiyahnya, bahwa semua kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata merupakan anugerah Rabb (Tuhan)-nya, sekaligus �ujian� (bala�) baginya: apakah dia bersyukur atau kufur. Coba, para pembaca, Anda perhatikan, ayat ini menyebut kenikmatan sebagai bala� juga!

Apa yang kita dapatkan dari teologi bala� (ujian) tersebut? Ya, para pembaca, kehidupan ini memang berisi dua hal itu, musibah dan nikmat. Tidak ada yang lain. Kalau tidak tertimpa musibah, seseorang itu dalam hidupnya menerima nikmat. Keduanya datang silih berganti seperti silih bergantinya malam dan siang (QS Ali Imran [3]: 190). Karena itu, manusia harus menyadari bahwa keduanya merupakan ujian.

Allah sendiri pun sejak awal telah menyadarkan kita akan dua macam bala� (ujian) itu: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS Al-Anbiyaa� [21]: 35).

Musibah disebut ujian, karena memang banyak manusia yang tidak sabar ketika musibah mulai menimpa dirinya. Ketidaksabaran itu karena saking tidak kuatnya menanggung musibah. Ada yang mengeluh dan ada pula yang sampai nekad bunuh diri.

Sementara itu, kenikmatan yang dirasakan oleh sebagian manusia juga bisa disebut ujian, alasannya sama dengan musibah tadi, yaitu semata-mata karena sikap manusia yang menerima kenikmatan itu. Jika dalam menghadapi musibah banyak orang yang tidak sabar, maka dalam menghadapi kenikmatan banyak orang yang tidak bisa bersyukur. Tandanya bisa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang serba cukup banyak yang jatuh dalam dosa atau kemaksiatan kepada Allah, Sang Pemberi nikmat (al-Mun�im) itu sendiri. Wallahu a�lam.










HIKMAH :KABAR KABUR


Hikmah: Kabar Kubur
Muslimah berdoa di makam korban genosida Serbia tahun 1995.



Pernahkah kita bermimpi berada di suatu tempat yang sangat asing, yakni tempat yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya, suatu tempat yg angker dengan berbagai macam hal yg menakutkan, siksaan, dan malangnya lagi kita tak bisa keluar dari tempat tersebut.

Dan mimpi itu seakan-akan nyata adanya hingga kita menangis atau berteriak dalam tidur kita. Setelah terbangun dari mimpi tersebut, dengan nafas masih terengah-engah, kita pun bersyukur dan berucap, "untung ini semua hanya mimpi".

Pernahkah kita meyakini hal mengerikan tersebut akan benar-benar terjadi pada kita?

Rasulullaah SAW berkata: "...Ingatlah kematian, demi Dzat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis." (Shahih Muslim).

Cepat atau lambat, alam kubur adalah fase yang pasti akan kita jalani. Fase kubur ini menjadi penentu sebelum menapak ke fase berikutnya, yaitu padang masyhar, pengadilan Allah SWT.

Jika sukses kita di fase ini, insya Allah di fase berikutnya kita pun akan sukses, yang puncaknya dengan kehidupan penuh kenikmatan di Jannatun Na'im (surga). Sebaliknya, jika kita gagal di fase ini, dapat dipastikan kegagalan juga yang didapati di fase berikutnya, yangg diakhiri dengan penderitaan tak terperi di neraka jahanam, na'udzubillah.

Semua tahu itu, tapi kadang kita lalai untuk bersiap diri.

Pernahkan kita memikirkan bila kemarin kita mengantarkan teman ke kuburnya, dan mungkin besok atau lusa giliran kita yg diantarkan ke kubur? Dan bila saat itu datang, apakah kita telah benar-benar siap? Akankah kita menyalahkan Yang Maha Pemurah karena tak memberikan kesempatan dan peluang bagi kita untuk bersiap diri?

Sering kita dikejutkan dengan berita orang-orang terkenal mulai dari tokoh masyarakat hingga para selebriti yg telah meninggalkan dunia ini selamanya, padahal masih terngiang prestasi atau karya-karyanya di dunia ini. Bahkan orang-orang di sekitar kita, apakah anggota keluarga, teman dekat atau pun tetangga yang telah meninggalkan kita selamanya, padahal sebelumnya kita masih berjumpa dan bercanda dengan orang-orang yg kita cintai tersebut. Sayangnya tipu daya setan dan beratnya beban hidup membuat kita terlena, hingga kita selalu merasa mendapat "giliran" paling akhir untuk menghadap-Nya.

Sebenarnya itu semua bagian dari early warning system dari Yang Maha Pemurah bagi kita untuk bersiap diri. Selain "sinyal-sinyal" lain yg diberikan Allah SWT kepada diri kita secara langsung. Rambut yg telah berubah warna; mata yang dulunya tajam dan sangat awas sekarang mulai memudar kemampuannya; gigi yang dulunya kuat melahap makanan apa saja, sekarang mulai terasa ngilu kalau menguyah, bahkan beberapa di antaranya mulai tanggal.

Belum terlambat untuk merenungi ayat ini:
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui." (QS Al Ankabut: 64).

Marilah kita mulai dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya dengan segenap kemampuan kita. Mari kita pastikan, tiada hari yg terbuang tanpa nilai ibadah kepada-Nya, walau itu hanya seulas senyum, tegur sapa serta jabat tangan yang iklhas kepada orang-orang di sekitar kita.

Insya Allah bila tiba giliran kita menghadap-Nya, tak ada teriakan penyesalan dari kubur kita.






MARI MEMIKIRKAN AIB SENDIRI


Hikmah: Mari Memikirkan Aib Sendiri

Seringkali kita tidak sadar dengan kesalahan sendiri. Tapi justru kita paham betul dengan kesalahan orang lain. Seperti kata peribahasa, gajah dipelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak.

Mengapa diri ini selalu menyibukkan diri dengan membicarakan aib orang lain, sedangkan �aib besar yang ada di depan mata tidak diperhatikan? Akhirnya diri ini pun sibuk menggunjing, membicarakan aib saudaranya padahal ia tidak suka dibicarakan.

Jika dibanding-bandingkan diri kita dan orang yang digunjing, boleh jadi dia lebih mulia di sisi Allah. Demikianlah hati ini seringkali tersibukkan dengan hal yang sia-sia. Seharusnya, aib kita sendiri yang lebih diperhatikan

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW pernah bertanya, "Tahukah kamu, apa itu ghibah?" Para sahabat menjawab, �Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.� Kemudian Rasulullah bersabda, �Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.� Seseorang bertanya, �Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?� Rasulullah berkata, �Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).� (HR Muslim)

Adapun ghibah dijelaskan dalam firman Allah Ta�ala di dalam Alquran surat Al Hujarat ayat 12, adalah seperti orang yang memakan bagkai saudaranya sendiri. Apakah kita mau seperti itu? T

Jika kita sudah tahu demikian tercelanya membicarakan aib saudara kita �tanpa ada maslahat - maka sudah semestinya kita menjauhkan diri dari perbuatan tersebut. Aib kita sebenarnya lebih banyak, dibanding aib orang lain. Kita tentu lebih paham diri kita ketimbang orang lain bukan? Mari berinstropeksi, sebelum berkomentar yang tak kita tahu tentang orang lain.






HIKMAH :HARAP HARAP CEMAS


Hikmah: Harap-harap Cemas
ilustrasi


Dalam menjalankan amal shalih seorang Muslim harus menyertainya dengan sikap �harap-harap cemas�. Istilah ini dalam Alquran disebut ar-raj� wal al-khauf. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). Serta orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera dan berlomba-lomba berbuat berbagai kebaikan " (Al-Mu'min�n [23]: 57-61).

Tentang ayat ini, Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai rasulullah, apakah orang yang takut dalam ayat itu karena mereka pernah minum arak, berzina dan mencuri?"

Nabi menjawab, "Bukan, wahai Binti Shiddiq! Mereka adalah orang yang suka berpuasa, rajin sholat dan gemar bershadaqah. Namun mereka sangat takut semua itu tidak diterima Allah. Lalu mereka bersegera berbuat baik!" (HR Tirmidzi).

Ar-raj� dan al-khauf sangat penting bagi seorang Mukmin dalam menjalankan ragam ibadah dan amal shalih. Satu sisi, kita harus berharap kepada Allah, karena hal ini akan menumbuhkan sikap optimis. Kita harus yakin, bahwa segala amalan baik kita akan diberi pahala oleh Allah Swt. berdasarkan janji Allah melaui firman-Nya sabda Nabi-Nya. Menurut Ibnu Qayyim, salah satu bentuk optimisme itu adalah kita harus berbaik sangka kepada Allah. Karena Allah akan memperlakukan seorang hamba sebagaimana hamba itu berprasangka terhadap-Nya. (HR Tirmidzi).

Namun di sisi lain, kita perlu cemas dan pesimis, karena bisa jadi, semua yang kita lakukan itu belum ikhlas semata-mata ingin meraih ridla Allah, dan belum sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.. Merasa diri kita sudah ikhlas, itu menunjukan diri kita belum ikhlas. Dan merasa diri paling sesuai dengan sunnah Nabi adalah ciri seorang Munafik. Bagaimana kita merasa diri kita paling sesuai dengan tuntunan Rasul, padahal Umar bin Khattab selalu cemas dam takut apa yang ia lakukan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah.

Agar dua perasaan ini --ar-raj� wal al-khauf -- berdampak positif pada amalan kita, maka kita harus memposisikan kedua perasaan ini pada tempatnya. ar-raja kita letakkan sebelum kita beramal shalih, sehingga kita optimis dan termotivasi untuk terus melakukannya. Sebaliknya, kita taruh al-khauf setelah beramal shalih. Kita merasa cemas dan tidak yakin, apa yang kita telah lakukan adalah murni karena Allah, sehingga kita tidak merasa sombong atas amal kita, tidak riy� (memperlihatkan) dan sum'ah (memperdengarkan) dengan kebaikan kita. Karena kita merasa tidak yakin amal kita diterima Allah, akhirnya kita bersegera berbuat baik lagi sebagai penggantinya. Wallahu a�la wa a�lam.





HIKMAH:KESALEHAN SOSIAL


Hikmah Pagi: Tertutupnya Pintu Tobat
Ilustrasi hikmah


Shalih dalam Alquran banyak diulang dalam beberapa ayat dan semuanya menunjukkan pada satu predikat, yaitu indikator keimanan seseorang. Rangkaian ayat dalam Alquran sering digabungkan antara �alladzina aamanuu� dengan �amilus shalihat.� Hal ini mengandung faidah bahwa antara iman dan amal shalih tidak bisa dipisahkan, bagai dua sisi mata uang (like two sides a coin), satu sama lain saling menyempunakan.

Dalam Kamus al-Munawwir (h.788-789), istilah Shalih mengandung makna al-Jayyid (bagus), al-Baar (sholeh), al-manfa�at (kemanfaatan), al-Ni�mat al-Waafirah (keni�matan yang sempurna), dan lain-lain. Semua istilah tersebut merujuk pada satu kata �kebaikan.� Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah SWT.

Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Berbuat baik (amal shalih) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja. Hal tersebut hanya memberikan kesan menjadi shalih secara individual, padahal Islam menganjurkan terwujudnya suatu sistem akhlak yang mengerucut pada predikat kesahalihan sosial (kolektif/jama�i).

Islam adalah sebagai sistem aturan (agama) yang berfungsi sebagai rahmatan lil �alamin. Karena itu, sasaran akhlak yang baik selain untuk diri sendiri juga untuk Allah SWT, sesama manusia, dan alam secara keseluruhan (M Quraish Shihab, 2000:261-273).

Perintah agama untuk berbuat kebaikan pada dasarnya merupakan washilah yang akan menghantarkan kita pada derajat keridhaan Illahi nanti di akhirat. Perintah dan dorongan berbuat baik itu datang dari Allah melalui para utusan-Nya. Namun sesungguhnya dorongan kepada kebaikan itu sudah merupakan �bakat primordial� manusia, bersumber dari hati nurani (nurani, bersifat nur atau terang) karena adanya fitrah pada manusia. Oleh karena itu berbuat baik merupakan sesuatu yang �natural� atau alami, karena dia tidak lain adalah perpanjangan nalurinya sendiri, alamnya sendiri, yang ada secara primordial, sejak seseorang dilahirkan ke dunia ini.

Maka jika Allah memerintahkan kita berbuat baik, sesungguhnya seolah-olah Dia hanyalah mengingatkan kepada kita akan �nature� kita sendiri, kecenderungan kita sendiri. Dengan kata lain, berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan mencocoki sifat dasar manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan kemanusiaan, menyalahi sifat dasar manusia itu.

Karena itu, dari perspektif ini bisa disimpulkan bahwa perintah berbuat baik dari Allah SWT kepada kita bukanlah untuk kepentingan Allah sendiri. Dia Maha Kaya (al-Ghaniy), tidak membutuhkan pelayanan/service dari makhluk-Nya. Sebaliknya, ketika perbuatan baik dikerjakan manusia maka semuanya akan kembali untuk kebaikan manusia itu sendiri. Hal ini telah Allah tegaskan dalam QS Fushilat : 46, �Barang siapa berbuat baik, maka hal itu untuk dirinya sendiri; dan barang siapa berbuat jahat, maka hal itu adalah atas (kerugian) dirinya sendiri.�

Berbagai kajian ilmiah mengenai manusia telah mengukuhkan bahwa manusia yang reach out, mengulurkan tangan untuk menolong orang lain, adalah orang yang bahagia. Jika suatu kali kita bertemu dengan orang yang membutuhkan pertolongan, kemudian kita menolongnya, sepintas lalu nampak seperti perbuatan kita adalah untuk kepentingan orang tersebut. Tetapi, dalam perenungan yang lebih mendalam, seuntung-untungnya orang yang kita tolong itu, tetap masih beruntung dan bahagia kita sendiri, justeru karena kita mampu menolong. Lebih lanjut, karena perasaan bahagia itu, kita akan mendapatkan dunia ini terasa lapang dan luas untuk kita disebabkan oleh lapang dan luasnya dada (jiwa) kita. Kita dibimbing oleh Allah, berkat perbuatan baik kita sendiri, kepada kehidupan yang luas,lapang dan penuh harapan (Nurcholis Madjid, 1999 : 186-187)

Inilah salah satu makna janji Allah SWT dalam firman-Nya QS. Al-Zumar : 10 �Katakanlah (Muhammad), �wahai-wahai hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.� Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pehalanya tanpa batas.�

Drs H Hamzah Ya�kub menyebutkan ada beberapa faktor penting dalam membentuk etika atau akhlak yang baik yang akan menghasilkan amal shalih. Dalam bahasa sekarang diistilahkan dengan pembentukan karakter (character building). Beberapa faktor tersebut antara lain : manusia (subjek), instink (naluri), Kebiasaan (habit), Keturunan (hereditas/nasab), lingkungan, �Azzam (tekad/motivasi kuat), Suara batin, dan pendidikan (tarbiyah).

Dengan kata lain, kesuksesan seseorang dalam beramal shalih akan banyak ditentukan oleh faktor-faktor tadi. Akan tetapi hal di atas bukan bermakna menafikan peran hidayah Allah SWT yang sudah menjadi sifat mutlak bagi makhluk-Nya.

Terjadinya musibah gempa bumi beberapa hari lalu yang menimpa kita dan saudara-saudara dekat kita di wilayah Kab. Bandung, Bandung Barat dan lebih luasnya Jawa Barat adalah sebagai lahan untuk mengaktualisasikan makna keshalihan sosial kita. Ketika sebagian besar saudara kita sedang membutuhkan pertolongan, maka seharusnya lah kita memberikan apapun yang kita mampu dan yang mereka butuhkan. Kepedulilan sosial kita mengindikasikan tingkat kecerdasan sosial kita (social intellegience).

Kita berusaha simpati sekaligus empati atas segala musibah yang sedang menimpa saudara-saudara kita. Sebaliknya, ketika tidak peduli dengan urusan saudaranya, Rasul SAW sampai memberikan ultimatum: �Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin yang lain, maka dia bukan dari golongan mereka.�