DEMI GANTI YANG LEBIH BAIK
Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan dalam Kitabnya, Dzailuth Thabaqaat, tentang kisah al-Qadhi Abu Bakar al-Anshary al-Bazzaz yang berkata,
�Saya tinggal di Mekah yang dijaga oleh Allah. Suatu hari aku merasakan lapar. Akupun keluar untuk mencari rejeki yang bisa aku makan, namun tidak juga mendapatkannya. Tatkala aku sedang berjalan, tiba-tiba aku menemukan bungkusan sutera yang diikat dengan pita dari sutera yang mahal. Aku membawanya pulang, dan kucoba membukanya. Ternyata di dalamnya terdapat kalung yang terbuat dari mutiara, belum pernah aku melihat kalung sebagus itu. Aku segera membungkusnya kembali dan mengikatnya seperti sedia kala.
Aku kembali keluar, tiba-tiba aku mendengar orang tua yang sedang berhaji berseru, �Barangsiapa yang menemukan sebuah bungkusan yang ciri-cirinya begini dan begini, maka akan aku beri hadiah 500 dinar emas.�
Aku berkata dalam hati, �Saya sedang terdesak kebutuhan, apakah sebaiknya aku mengambil dinar itu, dan mengembalikan bungkusan itu kepadanya, ya?� Lalu aku berkata, �Kemarilah, aku telah menemukannya.� Aku membawa orang tua itu ke rumah, kutanyakan ciri-ciri bungkusan, tentang kalung mutiara, jumlah barang dan sesuatu yang berada di dalamnya. Ternyata apa yang diutarakan persis dengan apa yang kutemukan. Maka aku keluarkan bungkusan itu, dan kuserahkan kepadanya. Diapun menyerahkan uang 500 dinar emas seperti yang ia janjikan. Kukatakan kepadanya, �Saya hanya menyampaikan amanah yang harus saya kembalikan kepada Anda, saya tidak meminta upah.� Dia mendesakku untuk menerima upah itu, sementara aku sudah berjanji untuk tidak mengambilnya sedikitpun.
Orang itu pergi meninggalkanku, lalu pulang ke negerinya setelah menyelesaikan hajinya. Sedangkan saya makin terdesak kebutuhan. Hingga aku memutuskan keluar dari Mekah dan mengarungi lautan dengan kapal tua bersama segolongan orang. Di tengah laut, kapal kami diterpa ombak dan badai yang dahsyat hingga kapalpun pecah. Orang-orang tenggelam, sementara Allah menyelamatkan aku, di mana aku bisa berpegangan pada sebuah kayu, hingga aku terdampar di sebuah pulau.
Aku memasuki pulau itu, dan ternyata di sana tinggal kaum muslimin yang rata-rata masih awam, belum bisa membaca dan menulis. Aku mendatangi masjid, shalat dan membaca al-Qur�an. Orang-orang yang berada di masjid memerhatikan aku, lalu berkumpul mengerumuni aku. Setiap orang yang bertemu denganku, memintaku untuk mengajarkan al-Qur�an kepadanya. Akupun mengajarkan al-Qur�an kepada mereka. �Apakah Anda bisa membaca dan menulis?� Tanya mereka. �Ya, bisa!� Jawabku. Merekapun berkata, �Kalau begitu, ajarilah kami membaca dan menulis!� lalu mereka datang dengan membawa anak-anak dan remaja mereka dan akupun mengajari mereka. Banyak sekali faedah dari kegiatan yang saya lakukan. Hingga mereka ingin, agar aku tetap tinggal bersama mereka. Mereka berkata, �Di tengah kami ada gadis yatim yang baik dan kaya, kami ingin Anda menikahinya dan tetap tinggal bersama kami di Pulau ini.� Awalnya aku menolak, namun mereka terus membujukku hingga akupun menyanggupinya. Mereka mengadakan walimah untuk saya. Dan tatkala bertemu dengan gadis itu, ternyata aku melihat kalung mutiara yang pernah kutemukan di Mekah dahulu melingkar di lehernya. Aku keheranan dan terus memerhatikan kalung itu. Hingga salah seorang keluarganya berkata, �Wahai Syeikh, Anda telah menyinggung perasaannya, Anda tak sudi melihatnya, dan hanya melihat kalung yang dikenakannya.� Buru-buru saya berkata, �Tentang kalung itu, ada kisah yang saya alami.� � Kisah apa itu?� Tanya mereka penasaran. Lalu saya bercerita kepada mereka tentang kalung dan pertemuanku dengan orang tua yang memilikinya. Usai aku bercerita, mereka tersentak dan meninggikan suara tahlil dan takbir. Lalu saya bertanya, �Subhanallah, apa yang terjadi atas kalian.� Mereka berkata, �Sesungguhnya orang tua yang bertemu denganmu itu adalah ayah dari gadis ini. Beliau juga sempat bercerita perihal Anda setelah kembali dari haji. Beliau berkata, �Demi Allah, aku belum pernah melihat pemuda muslim sebaik orang yang mengembalikan kalung itu, ya Allah kumpulkanlah aku dengannya, aku ingin menikahkan ia dengan puteriku.� Sekarang beliau sudah meninggal namun doanya telah dikabulkan oleh Allah.�
Subhanallah, beliau meninggalkan upah 500 dinar meskipun itu boleh, demi kemuliaan yang lebih di sisi Allah, lalu Allah menggantikan beliau dengan kalung mutiara sekaligus pemiliknya. Allah memberikan beliau ganti yang jauh lebih baik.
Kisah ini mengingatkan kita akan kaidah yang sangat populer, �Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberikan untuknya ganti yang lebih baik.�
Ketika seseorang meninggalkan sesuatu yang mubah, demi mendapatkan keutamaan agamanya, demi mengharap pahala yang besar dari Allah, maka Allah akan menggantikan untuknya sesuatu yang lebih baik, lebih nikmat dan lebih berharga dari apa yang ditinggalkannya itu. Apalagi jika yang ditinggalkan itu adalah sesuatu yang berstatus haram dan dosa.
Ganti yang Lebih Baik di Dunia
Kita hidup di suatu zaman, di mana peluang-peluang kemaksiatan terbuka lebar, program-program syaithani telah menghegemoni, menawarkan jalan haram untuk meraih kebutuhan yang diingini. Makin banyak orang yang mentolelir jalan dosa untuk mencapai tujuan. Banyak yang merasa sulit untuk berkelit dari debu dosa dan getahnya. Dalam hal mencari rejeki misalnya. Sampai tercetus kesimpulan yang diamini banyak orang, �Mencari rejeki yang haram saja susah, apalagi yang halal!�
Tapi, orang yang beriman memiliki logika yang berbeda; bahwa justru dengan meninggalkan cara yang haram, niscaya Allah akan memberikan kemudahan untuk mendapatkan rejeki yang halal dan lebih bernilai. Dia yakin akan janji Allah l,
�Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (QS. ath-Thalaq 2-3)
Dia juga yakin akan janji Rasul-Nya,
�Sesungguhnya, tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa Jalla, melainkan pasti Allah akan menggantikan dengan sesuatu yang lebih baik bagimu.� (HR Ahmad, al-Albani mengatakan, sanadnya shahih sesuai syarat Muslim)
Allah tidak akan membiarkan orang yang meninggalkan riba menjadi bangkrut. Tidak mungkin juga seseorang jatuh miskin karena mereka meninggalkan korupsi, curang dalam timbangan maupun jual beli yang haram. Allah pasti memberi ganti yang lebih baik di dunia, sebelum ganti yang lebih kekal di akhirat.
Ganti yang dimaksud mungkin saja secara jenis dan bentuknya sama, tapi dengan nilai yang lebih berharga. Tapi ada juga kemungkinan, Allah memberi ganti dalam wujud lain yang tak dikenali pelakunya. Namun dipastikan, bahwa ganti itu lebih besar manfaatnya dari yang ditinggalkannya.
Ganti yang Lebih Kekal di Akhirat
Ketika seorang hamba rela mencampakkan kelezatan yang ada di depan mata, demi meraih kenikmatan akhirat yang didamba, maka Allah akan memberikan ganjaran lebih dari apa yang diinginkannya,
�Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya..� (QS. asy-Syuura 20)
Ya, dia akan mendapatkan bonus bagian di dunia, juga kenikmatan jannah yang lebih menyenangkan dari apa yang diidamkannya. Kenikmatan jannah yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terbersit dalam hati manusia. Apapun yang kita bayangkan dan harapkan tentang kenikmatan jannah, hakikatnya jauh melebihi dari itu semua.
Allah telah memberikan percontohan yang klimak. Betapa Asiyah, istri Fir�aun al-mal�un rela meninggalkan suaminya yang kafir durjana, demi iman dan mengharap ridha Pencipta-Nya. Dia juga rela tersingkir dari kemegahan istana suaminya, demi mendapatkan istana yang lebih baik dan lebih kekal di sisi-Nya. Beliau berdoa,
�Wahai Rabbku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam jannah dan selamatkanlah aku dari Fir�aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.� (QS at-Tahrim 11)
Apa hasilnya? Di akhirat, beliau masuk dalam daftar wanita paling terhormat di jannah, sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shalallahu �alaihi wasallam.,
�Wanita penghuni jannah yang paling utama adalah Khadijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad, Maryam bintu �Imraan dan Asiyah bintu Muzaahim istri Fir�aun.� (HR Ahmad, al-Albani menshahihkannya)
Maka Allah menggantikan untuk beliau istana yang lebih indah di jannah, dan sudah pasti, pasangan hidup yang jauh lebih baik dan terhormat daripada Fir�aun. Semoga kita tak ragu lagi untuk mencampakkan yang haram, demi mendapatkan yang lebih baik dan lebih kekal,
wallahul muwaffiq.
TEBAR KEBAIKAN PANEN KEMUDAHAN
Hukum sebab akibat adalah fakta yang disepakati adanya oleh seluruh penduduk bumi. Termasuk tercapainya keinginan dan terhindarnya manusia dari bencana, pasti ada sebab yang mendahuluinya. Hanya saja, manusia berbeda-beda dalam mengidentifikasi sebab yang sesungguhnya.
Sebab-Akibat, Menurut Ahli Maksiat
Kaum atheis yang tidak mengenal Allah, menyandarkan pemenuhan kebutuhan dan peraihan cita-cita mereka kepada kemampuannya. Tak ada istilah do�a dalam kamus kehidupan mereka. Berhasil menurut mereka adalah buah dari kemampuan usaha semata. Selamat menurut mereka, melulu dikarenakan kesigapan atau cermatnya perhitungan. Begitupun dengan kegagalan dan kecelakaan, terjadi lantaran keterbatasan kemampuan atau kecerobohan. Padahal akal sehat sepakat, kemampuan manusia serba terbatas, sementara besarnya rintangan dan bahaya jauh berlipat. Maka tatkala ikhtiar ragawi sudah klimaks, pikiran juga sudah buntu mencari jalan keluar, yang tinggal hanyalah rasa putus asa. Karena mereka kaum yang kafir tidak mengenal cara lain sesudah itu.
Sebagian lagi, sedikit �lebih mending� dari mereka. Di saat kehidupan terasa lapang, nyaman dan menyenangkan, mereka cenderung lalai, tidak menjaga ketaatan, dan berlaku syirik. Namun jika tiba-tiba kesempitan dan bahaya terpampang di hadapan mata, serta-merta mereka tinggalkan sesembahan yang mereka agungkan selain Allah, kemudian berdoa dengan ikhlas memohon hanya kepada Allah. Akal mereka masih waras, kekuatan manusia tak mampu mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Sejenak mereka juga sadar, berhala batu, kayu maupun jimat yang mereka agungkan tak lebih hanya pajangan yang tak bisa membantu apa-apa. Allah mengisahkan tentang mereka,
Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. (QS al-Isra� 67)
Begitulah karakter orang musyrik zaman dulu, hanya mengenal Allah di saat sempit, tapi berpaling di saat lapang. Sekarang, kesyirikan yang terjadi lebih parah lagi. Mereka tak hanya mempersekutukan Allah pada saat rakha� (longgar) saja, bahkan di saat syiddah (sempit), kesyirikan makin menjadi.
Bukankah saat Allah turunkan peringatan dengan muntahan lava pijar, hembusan awan panas disertai hujan kerikil dan suara gemuruh dari perut bumi yang membuat hati miris, manusia tidak kemudian mentauhidkan Allah dan meninggalkan perilaku syirik? Mereka justru mengadakan ritual tolak bala dengan menyembelih kerbau, dagingnya mereka makan, sedang kepala ditanam di lereng gunung untuk sesaji?
Sebab-Akibat Menurut Mukmin yang Taat
Adapun orang mukmin memiliki sikap yang berbeda, bahkan berseberangan dengan itu semua. Bagi mereka, �tabungan� kebaikan yang dijalani secara kontinyu dalam suka dan duka, adalah sebab dominan datangnya keberuntungan, dan terhindarnya mereka dari petaka. Mereka mengimani kebenaran sabda Nabi saw,
????????? ????? ????? ??? ?????????? ?????????? ??? ??????????
�Kenalilah Allah di saat lapang, niscaya Allah akan mengenalimu di saat sempit.� (HR Tirmidzi)
Waktu longgar baginya adalah saat menabung, investasi amal kepada Allah; dengan memelihara hak-hak-Nya, menjaga batas-batas yang telah ditetapkan oleh-Nya, termasuk menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Dengan itulah seorang mukmin membangun hubungan ma�rifah khashshah ( hubungan khusus) dengan Rabb-nya. Hal itu tak hanya bermanfaat baginya menghadapi hari akhirat yang merupakan asyaddu syiddah (kesempitan yang paling berat), bahkan juga bermanfaat baginya ketika menghadapi kegentingan di dunia. Kisah tiga orang yang terjebak di gua, merupakan contoh betapa amal shalih yang dilakukan dengan ikhlas, dapat menjadi wasilah dikabulkannya doa di saat sulit.
Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Salman al-Farisi, bahwa beliau berkata,
� ????? ????? ????????? ??????? ????? ??? ??????????? ? ?????????? ???? ??????????? ????????? ????????? ??????????????: ?????? ????????? ???? ???????? ???????? ????? ??????? ??? ???????????? ????????????? ???? ? ??????? ????? ????????? ??? ??????? ????? ??? ??????????? ?????????? ???? ??????????? ??????? ????????? ??????????????: ?????? ???????? ???? ???????? ??????? ????? ??? ??????? ??? ??????????? ?????????? ???? ??????????? ????? ??????????? ???? �
Apabila seseorang berdoa kepada Allah pada saat longgar, kemudian kesulitan menerpanya, lalu dia berdoa, maka malaikat berkata, �(Ini) Suara yang telah dikenal, dari manusia yang lemah, dan sebelumnya biasa berdoa di saat lapang.� Maka para malaikat memintakan syafaat (kepada Allah) untuknya. Dan jika seseorang tidak pernah berdoa di saat lapang, kemudian kesulitan menerpanya lantas dia berdoa, maka malaikat berkata, �Suara yang asing (tidak dikenal) dari seorang manusia lemah, sebelumnya tidak pernah berdoa pada saat lapang, lantas di saat sulit dia berdoa�. Maka malaikat tidak memintakan baginya syafa�at /pertolongan (kepada Allah).
Kebenaran rumus ini telah terbukti dan dialami oleh Nabi Yunus alaihissalam. Ketika beliau berada dalam perut ikan, tak ada lagi ikhtiar yang mampu dia lakukan. Mustahil pula beliau meminta pertolongan orang lain dalam kondisi itu. Tapi beliau tahu, ada Dzat yang mampu menolongnya. Yang beliau taati saat kondisi aman, tak mungkin membiarkan beliau dalam kondisi ketakutan. Dalam kegelapan perut ikan itu, beliau berdoa,
??? ?????? ?????? ?????? ??????????? ?????? ?????? ???? ??????????????
�Tidak ada Ilah yang haq melainkan Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim.� (Al-Anbiya: 87)
Ucapan tasbih itu didengar oleh Allah, dan Allahpun menyelamatkan beliau. Hanya saja, tasbih yang dilantunkan oleh Yunus itu bukan kali pertama beliau ucapkan. Beliau terbiasa mengucapkannya dalam kondisi lapang. Karena itulah Allah menolongnya,
�Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah (bertasbih), niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.� (Ash-Shaffat: 143-144)
Begitupun yang terjadi atas Nabi Musa beserta kaumnya yang beriman. Ketika mereka dikejar oleh Fair�aun dan pasukannya, jalan mereka buntu. Di hadapan mereka terbentang samudera yang luas. Sementara di belakang mereka pasukan Fir�aun yang menurut penuturan Ibnu Jarir berjumlah satu juta tentara. Ada pula yang mengatakan 600.000 pasukan. Di depan ada laut, sedang di belakang sejuta pedang telah terhunus, hingga Bani Israel berkata, �Inna lamudrakuun�, Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul�. (QS asy-Syu�ara 61). Tapi, meski situasi benar-benar terjepit, tak ada putus harap bagi orang yang menjaga hak Allah di saat lapang. Dengan yakin Musa alaihis salam berkata, �Sekali-kali tidak akan tersusul; Sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku�.(QS asy-Syu�ara� 62)
Beliau yakin, karena beliau menjaga hak Allah di saat longgar, pastilah Allah tak akan menelantarkannya di saat sempit. Maka tatkala pasukan Fir�aun merangsek, sementara Musa dan teman-temannya makin dekat dengan bibir pantai, Allah mewahyukan kepada Musa untuk memukulkan tongkatnya ke laut. Atas kehendak Allah, lautpun terbelah. Mereka menyeberang dengan selamat, sementara Fir�aun dan bala tentaranya tenggelam di laut.
Adapun yang terjadi atas Nabi saw, sangat banyak kisah bertebaran tentangnya. Betapa banyak peristiwa genting yang beliau alami, lalu Allah menyelamatkan beliau dari bahaya musuh.
Menabung Kebaikan Menuai Kemudahan
Rumus ini tak hanya berlaku bagi para anbiya�. Siapapun yang mengenal Allah dan menjaga hak-hak-Nya di saat aman, Allah akan mengenalnya di saat genting. Karena itulah, seorang mukmin tak pernah bosan mengumpulkan kebaikan. Dia selalu menjaga pengabdiannya kepada Allah dalam segala kondisi; di saat suka dan duka, lapang dan sempit dan saat mudah maupun sulit. Rasulullah saw bersabda,
???? ???????? ???????? ???? ?????? ?????? ??????? ??????????? ?????????
�Tidak kenyang-kenyangnya orang yang beriman dari (mengumpulkan) kebaikan, hingga dia berhenti di jannah.�(HR Tirmidzi, beliau berkata, � hadits hasan�).
Mereka yakin, pada saatnya kebaikan itu akan berbuah kebahagiaan. Juga menjadi sebab datangnya pertolongan di dunia. Dan puncaknya adalah dijauhkannya mereka dari neraka; kesempitan yang paling berat dan penderitaan yang paling dahsyat. Alangkah indah nasihat sebagian ulama salaf, �Jika kamu menyadari amalmu akan ditimbang, baik dan buruknya, maka jangan remehkan kebaikan sekecil apapun. Karena kelak kamu akan melihat, yang sedikit itu akan membahagiakan dirimu. Dan jangan pula menganggap enteng keburukan sekecil apapun. Karena kelak kamu akan saksikan, bahwa yang sedikit itu akan membuatmu menyesal.� Wallahu a�lam.
HUKUM MENGGUNAKAN UANG HARAM
Beberapa saat yang lalu penulis diwawancari oleh salah satu radio swasta di Solo seputar bantuan untuk Merapi yang akan diberikan oleh seseorang yang ditengarai penghasilannya diperoleh dari yang haram.
Untuk menjawab masalah tersebut perlu dikumpulkan dalil-dalil yang ada. Setelah diteliti ternyata ada dua kelompok dalil yang kelihatannya saling bertentangan. Sebagian dalil menjelaskan ketidakbolehan menggunakan harta haram secara mutlak, dan sebagian yang lain menjelaskan kebolehannya. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi dalil-dalil tersebut. Sebagian dari mereka membaginya dalam dua kaidah, sebagai berikut :
Kaidah Pertama:
Jika harta haram tersebut berasal dari hasil pencurian, perampokan,penipuan, korupsi dan perbuatan kriminal lainnya yang merugikan orang lain secara nyata, seperti menjadi penadah barang-barang curian, dan membeli dari tempat penadah tersebut dengan harga murah seperti yang terjadi pasar-pasar gelap, maka harta tersebut harus dikembalikan kepada yang berhak, dan haram untuk diambil atau dimanfaatkan dalam bentuk apapun.
Tetapi jika harta tersebut tidak bisa dikembalikan kepada yang berhak, karena tidak diketahui beritanya ataupun karena alasan lainnya, maka boleh diinfakkan untuk kemaslahatan kaum muslimin dan tidak boleh dimakan. Harta semacam ini termasuk dalam katagori �hak manusia �
Kaedah tersebut didasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut :
Pertama: Firman Allah ta�ala :
� Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.� (Qs. an-Nisa� : 29 )
Kedua: Hadist Abdullah bin Umar z, bahwasanya Rasulullah shalallahu �alaihi wasallam bersabda :
�Tidak diterima shalat tanpa bersuci, dan tidak diterima sedekah dari hasil penggelapan harta ghanimah. � (HR Muslim, no: 329 )
Ketiga: Hadist Abu Hurairah z, bahwasanya ia berkata :
� Kemudian Nabi shalallahu �alaihi wasallam menceritakan tentang seroang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo�a: �Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.� Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do�anya?.� ( HR Muslim, no : 1686 )
Keempat: Kisah Mughirah bin Syu�bah :
�Dahulu Al Mughirah dimasa jahiliyah pernah menemani suatu kaum, lalu dia membunuh dan mengambil harta mereka. Kemudian dia datang dan masuk Islam. Maka Nabi shalallahu �alaihi wasallam berkata saat itu: �Adapun keIslaman maka aku terima. Sedangkan mengenai harta, aku tidak ada sangkut pautnya sedikitpun�(HR Bukhari No : 2529)
Kaedah Kedua :
Jika harta haram tersebut berasal dari hasil keuntungan lokalisasi pelacuran, perjudian, penjualan khamr, gaji artis dari pengambilan foto atau film porno, hasil penjualan rokok, keuntungan bank konvensional yang menggunakan transaksi riba, bantuan asing, atau harta warisan dari orang yang mempunyai profesi di atas, serta profesi-profesi lain yang pada dasarnya adalah perbuatan haram, tetapi dilakukan secara suka rela antara kedua belah pihak atau lebih, selama hal itu tidak mengikat atau tidak bersyarat serta tidak ada unsur membantu kebatilan mereka, maka mayoritas ulama membolehkan untuk memanfaatkan uang tersebut untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti membangun jembatan, memperbaiki jalan, membeli mobil ambulan, membuat sumur, membuat tenda-tenda penampungan korban bencana alam dan lain-lain. Harta semacam ini termasuk dalam katagori �hak Allah.�
Kaedah ini didasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah ta�ala:
�Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.� ( Qs Al An�am: 164 )
Ayat di atas menunjukkan bahwa siapa saja yang bekerja pada sesuatu yang mengandung keharaman seperti di Bank Konvensional atau Asuransi Jiwa, atau perjudian (yang mana pekerjaan tersebut adalah hasil kesepakatan antara mereka sendiri ), maka dosanya akan dia tanggung sendiri, dan dosa ini tidak menular kepada orang lain.
Kedua: Diriwayatkan dari Anas bin Malik, z bahwasanya ia berkata :
�Bahwasanya seorang wanita Yahudi datang memberikan hadiah kepada Nabi shalallahu �alaihi wasallam berupa seekor kambing yang telah dilumuri racun, lalu beliau memakannya.� (HR Bukhari dan Muslim )
Sebagaimana kita ketahui bahwa kebanyakan orang Yahudi memakan harta haram seperti riba dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian Rasulullah shalallahu �alaihi wasallam menerima hadiah mereka. Bahkan hadiah itu berupa makanan.
.Ketiga: Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menerima jizyah ( upeti ) dari keuntungan penjualan khamr Ahli Kitab (Abdur Razaq, al- Mushanaf, 8/198 ).Upeti yang diambil Umar dari harta haram tersebut menjadi kas negara dan nantinya digunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
Keempat: Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas�ud pernah berkata: �Jika anda diajak makan oleh orang yang hartanya berasal dari riba, maka makanlah. �
Kelima: Berkata Ibrahim an Nakh�i: � Terimalah hadiah dari orang yang hartanya dari riba, selama anda tidak menyuruhnya atau membantunya � (Abdurrazaq, Mushonaf, 8/151) Hal serupa juga disampaikan oleh Salman Al Farisi.
Artinya jika dengan menerima hadiah tersebut tidak membantu kemungkarannya, maka boleh diterima, khususnya jika ada manfaatnya untuk kaum muslimin, sekaligus sebagai sarana dakwah dan ta�lif qulub (meluluhkan hati mereka agar masuk Islam).
Kesimpulan :
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa dana-dana bantuan korban bencana atau bantuan-bantuan lain dari pihak asing maupun dari artis manapun juga, selama itu menyangkut hak Allah dan tidak ada terkait dengan hak manusia, serta tidak mengikat, maka hukumnya boleh diterima dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan kaum muslimin.
Kalau kita menolak bantuan tersebut juga tidak apa-apa. Hanya saja, dikhawatirkan akan mereka gunakan untuk memperkuat kebatilan mereka, atau membangun proyek � proyek kemaksiatan lainnya, bahkan justru dimanfaatkan untuk memerangi kaum muslimin. Sehingga secara tidak langsung, seakan-akan kita telah memperkuat dan membantu kebatilan mereka dengan mengembalikan harta tersebut,padahal hal itu dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya : � Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. � ( QS Al Maidah : 2 ).
HIDUP BUKAN UNTUK MAIN MAIN
�Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS al-Mukminun 115)
Ibrahim bin Adham termasuk keturunan orang terpandang. Ayahnya kaya, memiliki banyak pembantu, kendaraan dan kemewahan. Ia terbiasa menghabiskan waktunya untuk menghibur diri dan bersenang-senang. Ketika ia sedang berburu, tak sengaja beliau mendengar suara lantunan firman Allah Ta�ala,
�Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami.� (QS al-Mukminun 115)
Serasa disambar petir. Ayat itu betul-betul menyentak beliau. Menggugah kesadaran, betapa selama ini telah bermain-main dalam menjalani hidup. Padahal hidup adalah pertaruhan, yang kelak akan dibayar dengan kesengsaraan tak terperi, atau kebahagiaan tak tertandingi. Yakni saat di mana mereka dikembalikan kepada Allah untuk bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Sejak itulah beliau tersadar, dan itulah awal beliau meniti hidup secara semestinya, hingga saksi sejarah mencatat beliau sebagai ahli ibadah dan ahli ilmu yang �bukan main�.
Bila Hidup Dianggap Main-Main
Rasa-rasanya, ayat ini seperti belum pernah diperdengarkan di zaman kita ini. Meski tidak terkalamkan, lisaanul haal menjadi bukti, banyak manusia yang menganggap hidup ini hanya iseng dan main-main. Aktivitasnya hanya berkisar antara tidur, makan, cari makan dan selebihnya adalah mencari hiburan. Seakan untuk itulah mereka diciptakan.
Ayat ini menjadi peringatan telak bagi siapapun yang tidak serius menjalani misi hidup yang sesungguhnya. Kata �afahasibtum�, (maka apakah kamu mengira), ini berupa istifham inkari, kata tanya yang dimaksudkan sebagai sanggahan. Yakni, sangkaan kalian, bahwa Kami menciptakan kalian hanya untuk iseng, main-main atau kebetulan itu sama sekali tidak benar. Dan persangkaan kalian, bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami, adalah keliru.
Allah tidak akan membiarkan manusia melenggang begitu saja, bebas berbuat, menghabiskan jatah umur, lalu mati dan tidak kembali,
�Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?� (QS. Al-Qiyamah 36)
Orang yang tidak mengetahui tujuan ia diciptakan, tak memiliki pathokan yang jelas dalam meniti hidup. Tak ada panduan arah yang bisa dipertanggungjawabkan, hingga ia akan terseok dan tertatih di belantara kesesatan.
Hanya ada tiga �guide� yang mungkin akan mereka percaya untuk memandu jalan. Pertama adalah hawa nafsu. Dia berbuat dan berjalan sesuai petunjuk nafsu. Apa yang diingini nafsu, itulah yang dilakukan. Kemana arah nafsu, kesitu pula dia akan berjalan. Padahal, nafsu cenderung berjalan miring dan bengkok, betapa besar potensi ia terjungkal ke jurang kesesatan.
Pemandu jalan kedua adalah setan. Ketika seseorang tidak secara aktif mencari petunjuk sang Pencipta sebagai rambu-rambu jalan, maka setan menawarkan peta perjalanan. Ia pun dengan mudah menurut tanpa ada keraguan. Karena sekali lagi, dia tidak punya �kompas� yang bisa dipertanggungjawabkan dalam menentukan arah perjalanan. Sementara, peta yang disodorkan setan itu menggiring mereka menuju neraka yang menyala-nyala,
�Sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni naar yang menyala-nyala.� (QS. Fathir: 6)
Rambu-rambu ketiga adalah tradisi orang kebanyakan. Yang ia tahu, kebenaran itu adalah apa yang dilakukan banyak orang. Itulah kiblat dan barometer setiap tingkah laku dan perbuatan. Padahal,
�Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.� (QS. al-An�am: 116)
Misi Hidup yang Bukan Main
Allah menciptakan manusia untuk tugas yang sangat agung; agar mereka beribadah kepada-Nya. Untuk misi itu, masing-masing diberi tenggat waktu yang sangat terbatas di dunia. Kelak, mereka akan mempertanggungjawabkan segala perilakunya di dunia, adakah mereka gunakan kesempatan sesuai dengan misi yang diemban? Ataukah sebaliknya; lembar catatan amal dipenuhi dengan aktivitas yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang diperintahkan.
Di hari di mana mereka dinilai atas kinerja mereka di dunia, tak ada satu episode pun dari kehidupan manusia yang tersembunyi dari Allah. Bahkan semua tercatat dengan detil dan rinci, hingga manusiapun terperanjat dan keheranan, bagaimana ada catatan yang sedetil itu, mereka berkata,
�Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis).� (QS. al-Kahfi: 49)
Sebelum peluang terlewatkan, hendaknya kita bangun motivasi, untuk menjadikan hidup lebih berarti. Mudah-mudahan, fragmen singkat di bawah ini membantu kita untuk membangkitkan semangat itu.
Suatu kali Fudhail bin Iyadh bertanya kepada seseorang, �Berapakah umur Anda sekarang ini?� Orang itu menjawab, �60 tahun.� Fudhail berkata, �Kalau begitu, selama 60 tahun itu Anda telah berjalan menuju perjumpaan dengan Allah, dan tak lama lagi perjalanan Anda akan sampai.�
�Inna lillahi wa inna ilaihi raaji�un,� tukas orang itu.
Fudhail kembali bertanya, �Tahukah Anda, apa makna kata-kata yang Anda ucapkan tadi? Barangsiapa yang mengetahui bahwa dirinya adalah milik Allah, dan kepada-Nya pula akan kembali, maka hendaknya dia menyadari, bahwa dirinya kelak akan menghadap kepada-Nya. Dan barangsiapa menyadari dirinya akan menghadap Allah, hendaknya dia juga tahu bahwa pasti dia akan ditanya. Dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang telah dilakukannya. Maka barangsiapa mengetahui dirinya akan ditanya, hendaknya dia menyiapkan jawaban.�
Orang itu bertanya, �Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Sedangkan kesempatan telah terlewat?�
Fudhail menjawab, �Hendaknya Anda berusaha memperbagus amal di umur yang masih tersisa, sekaligus memohon ampunan kepada Allah atas kesalahan di masa lampau.�
Semoga kita mampu mengubah hidup kita, dari main-main, menjadi bukan main. Amien.
PEMBURU AKHIRAT DAN PECANDU DUNIA
????????? ??? ??????????? ??? ????????
�Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.� (QS. Asy-Syura: 20)
Semua manusia bergerak dan berusaha demi kenikmatan yang menjadi tujuan. Garis besarnya ada dua titik akhir yang diharapkan. Ada yang mengingini dunia sebagai terminal akhir perjalanan, ada pula yang menatap lebih jauh ke depan, mereka jadikan akhirat sebagai akhir perjalanan yang didambakan. Masing-masing titik tujuan, ada penggemarnya. Ada yang banting tulang demi nikmat dunia yang didamba, ada yang bekerja keras demi kejayaan hidup setelah dunia menjadi sirna. Sahabat Ali bin Thalib mengistilahkan dengan abna�ul akhirah dan abna�ud dunya. Beliau berkata setelah menyebutkan perbedaan karakter dunia dan akhirat,
????????? ????????? ????????? ??????? ? ????????? ???? ????????? ????????? ? ????? ????????? ???? ????????? ?????????? ? ??????? ????????? ?????? ????? ??????? ? ??????? ??????? ????? ??????
�Masing-masing dari keduanya memiliki generasi (penggemar), maka jadilah generasi akhirat, dan janganlah menjadi generasi dunia, karena sesungguhnya hari ini (di dunia) adalah tempat berjuang belum ada perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan, tidak ada lagi amal.� (Shahih al-Bukhari)
Karakter Pemburu Akhirat
Orang yang cerdas akan menjatuhkan pilihan akhirat sebagai negeri tujuan yang didambakan. Alasannya sangat kuat, tak ada satu celahpun keraguan hati yang melekat. Karena informasi bersumber dari al-Qur�an yang seratus persen akurat. Allah berfirman.
� Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.� {Al-�Ala : 17}
Jenis kenikmatan yang tersedia terlampau hebat untuk dibayangkan. Masa mengenyam kelezatannya kekal tiada batasan. Hanya orang bodoh yang rela kehilangan, demi kenikmatan yang sangat sedikit, dengan durasi waktu yang sangat sempit.
Karena itulah, Nabi memberikan gelar al-kayyis, orang yang jenius bagi mereka yang mau mengevaluasi diri dan berbekal untuk hidup setelah mati.
Mereka rela mempertaruhakn apapun demi mendapatkan jannah yang dinanti. Mereka juga rela kehilangan berbagai kenikmatan syahwati yang bisa menjerumuskan ke dalam kesengsaraan abadi. Maka segala penderitaan apapun di dunia dia senantiasa berusaha untuk bersabar. Karena itu terlalu ringan dan singkat bila dibanding dengan siksa di akhirat. Allah berfirman,
�Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.� (QS Thaha 127)
Orang yang serius menjadi pejuang akhirat, pastilah banyak memikirkan dan mengingatnya. Seperti orang yang senang dengan hobi tertentu, pandangannya akan tertuju kepada apa yang menjadi kecenderungannya. Seperti para pekerja bangunan tatkala masuk ke dalam bangunan yang indah mempesona. Tukang batu akan memerhatikan dindingnya, tukang kayu akan mengamati kursi, almarai, pintu dan jendelanya.
Begitu pula keadaan orang yang hatinya terkait dengan akhirat. Tatkala melihat orang yang tidur, dia mengingat kematian, jika berada di kegelapan, dia ingat alam kubur, jika merasakan atau melihat kenikmatan, maka dia akan mengingat jannah.
Seperti Imam Hasan al-Bashri, tatkala dijamu dengan air yang dingin nan segar, seketika beliau terkejut dan pingsan. Setelah siuman, beliau ditanya, �Ada apa dengan Anda wahai Abu Sa�id?� Beliau menjawab, �Aku teringat akan harapan penghuni neraka tatkala mereka berkata kepada penghuni jannah,
�Limpahkanlah kepada kami sedikit air, atau makanan yang telah dirizkikan Allah kepadamu.� (QS al-A�raf 50)
Di zaman sahabat, ada Abu Darda� radhiyallahu �anhu. Ketika ada jenazah lewat di depan beliau, llau beliau ditanya, �Jenazah siapa yang baru saja lewat itu?� Maka beliau menjawab, �Itu adalah kamu dan aku, tidakkah kamu membaca firman Allah,
�Sesungguhnya kamu mayit, dan mereka adalah mayit.�
Dan masih banyak lagi teladan yang menakjubkan dari para pemburu akhirat.
Derita Para Pemuja Dunia
Sebagaimana tersirat dalam ayat yang kita bahas, pemburu dunia akan mendapatkan kerugian besar dari dua sisi,
�dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.�(QS asy-Syuura 20)
Dia tidak mampu mengenyam semua kenikmatan dunia yang diidamkan, tidak pula sempat menikmati seluruh hasil jerih payah yang diusahakan. Dan yang lebih berat lagi, dia tidak mendapatkan kenikmatan apapun, atau kebahagiaan sedikitpun di akhirat. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Marilah kita simak perumpamaan para ulama yang makin memperjelas, betapa piciknya orang yang rela mengorbankan akhirat demi secuil kenikmatan dunia yang fana.
Perumpamaan pertama datang dari Bisyr bin al-Harits al-Hafi rahimahullah. Beliau berkata, Dunia itu laksana biji-bijian yang dikumpulkan semut di musim panas sebagai simpanan menghadapi musim dingin. Tanpa sadar, tatkala semut sedang asyik membawa sebutir biji di mulutnya, datanglah seekor burung yang mematuk sang semut beserta sebutir biji yang sedang dibawanya. Maka semut itu tak sempat menikmati makanan yang dikumpulkannya, tidak pula mendapatkan apa yang diharapkannya.� Terapkanlah permisalan tersebut, di mana biji-bijian itu adalah kenikmatan dunia, semut itu adalah manusia, sedangkan burung tersebut ibarat malakul maut. Betapa banyak manusia sibuk mengumpulkan harta, hingga kematian tiba-tiba menyergapnya di saat dia masih mengumpulkan dunianya, dan dia belum sempat mengenyam semua hasil jerih payahnya.
Perumpamaan kedua datang dari seorang ulama yang sangat faqih di Abad 6 H, Ibnu al-Jauzi rahimahullah. Beliau mengumpamakan dunia laksana perangkap yang ditebar di dalamnya biji-bijian. Sedangkan manusia ibarat seekor burung yang menyukai biji-bijian. Burung-burung itu hanya asyik menikmati bijian-bijian itu, tanpa menaruh waspada terhadap perangkap yang akan menjeratnya sekejap mata. Cukup jelas, pemburu dunia terperangkap kenikmatan yang menipu, akhirnya mendekam dalam kesengsaraan tanpa batasan waktu.
Perumpamaan yang lebih menohok dibuat oleh senior tabi�in, Imam penduduk Bashrah, Imam Hasan al-Bashri rahimahullah. Beliau berkata, �Wahai anak Adam, pisau telah diasah, dapur api telah dinyalakan, sedangkan domba masih sibuk menikmati makanan.�
Ya, siksa telah disiapkan, tapi manusia masih terbuai dengan kenikmatan yang memperdayakan. Wallahul musta�an.